AAI-FH UNPAR Kaji RUU HAP, Keadilan Restoratif Rawan Transaksional

Muhammad Rafki Razif
AAI-FH UNPAR Kaji RUU HAP. (Foto: Rafki Razif/iNewsBandungRaya.id)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Di tengah gempuran protes kewenangan militer atas bidang-bidang sipil, salah satu kepentingan masyarakat yang tidak boleh terlupakan adalah reformasi hukum acara pidana (HAP).

Dalam dinamika hukum pidana modern, sistem peradilan pidana harus didesain sedemikian rupa agar mampu beradaptasi dengan tantangan baru, namun di sisi lain tetap tunduk pada supremasi hukum dan orientasi pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kepentingan-kepentingan tersebut mendorong DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) menyusun kajian akademik guna memberikan masukan konstruktif bagi perancangan RUU HAP.

Forum yang dibentuk sebagai sarana penyusunan kajian berupa Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion) yang telah dilaksanakan pada hari Senin (10/3/2025) di FH UNPAR.

Terlepas kesan eksklusivitas pembahasan RUU HAP, kajian substantifnya harus tetap digaungkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu, tim AAI-FH UNPAR bersama-sama membedah dan mengkritisi RUU HAP.

Dengan mempertimbangkan bahwa akses terhadap draf tersebut masih terbatas-hanya dapat diperoleh melalui permintaan resmi ke situs sekretariat DPR tanpa kepastian jawaban, dan pada akhirnya bisa diperoleh melalui lobi-lobi informal-kajian ini berfokus pada isu-isu yang dianggap paling fundamental.

Terlepas dari apa pun yang termuat dalam draf yang sulit diakses tersebut, ketiga isu ini harus menjadi bagian dari regulasi hukum acara pidana yang ideal.

Beberapa isu krusial yang menjadi perhatian dalam kajian ini meliputi pertama; keadilan restoratif sebagai konsep keadilan, kedua; akses tersangka/terdakwa dan penasihat hukum dalam tahapan peradilan pidana.

Ketiga; kewenangan penyidikan antara Kepolisian dan Kejaksaan, yang seyogianya diseimbangkan di tengah tarik-menarik antara doktrin diferensiasi fungsional dan dominus litis.

Ketua Tim Pengkaji RUU HAP, Budi Prastowo mengatakan, konsep keadilan restoratif yang seharusnya menjadi solusi alternatif dalam sistem peradilan pidana, justru berpotensi menjadi ajang transaksional dan ketidakadilan.

Budi menjelaskan bahwa tujuan awal keadilan restoratif adalah untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan dengan melibatkan para pihak yang terlibat, termasuk korban dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, konsep ini seringkali diselewengkan.

"Restoratif justice yang seharusnya menjadi solusi keadilan justru berubah menjadi sesuatu yang bersifat transaksional. Orang yang memiliki uang dapat menyelesaikan perkara mereka melalui mekanisme ini tanpa proses lebih lanjut, sementara mereka yang tidak memiliki uang tetap harus menjalani proses hukum. Ini yang menjadi permasalahan utama," kata Budi di Gedung 2 FH UNPAR, Jalan Ciumbuleuit Nomor 94, Kota Bandung, Senin (24/3/2025).

Budi juga menyoroti bahwa keadilan restoratif seringkali hanya berfokus pada ganti rugi kepada korban, tanpa melibatkan masyarakat yang juga terdampak. Kurangnya kontrol terhadap kesepakatan dalam proses keadilan restoratif juga menjadi persoalan serius.

"Tidak ada mekanisme yang memastikan bahwa kesepakatan yang dibuat benar-benar dilakukan secara sukarela tanpa adanya tekanan. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, pihak yang lebih lemah terpaksa menyetujui kesepakatan karena adanya tekanan dari pihak lain," jelasnya.

Oleh karena itu, Budi menekankan pentingnya mekanisme kontrol dalam proses keadilan restoratif. Ia mengusulkan agar pengadilan memiliki wewenang untuk menilai sah atau tidaknya suatu kesepakatan restoratif justice.

"Pengadilan seharusnya memiliki wewenang untuk menilai apakah suatu kesepakatan restoratif justice sah atau tidak. Jika tidak sah, maka perkara harus tetap diproses sesuai hukum yang berlaku. Sebaliknya, jika kesepakatan dianggap benar dan sesuai dengan prinsip restoratif justice, maka dapat diterima sebagai penyelesaian yang sah," terangnya.

Budi berharap, dengan adanya mekanisme kontrol yang lebih kuat, keadilan restoratif dapat benar-benar menjadi solusi yang adil bagi semua pihak, dan tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Budi menyebut, kajian RUU HAP ini dirancang oleh tim yang terdiri dari dosen-dosen Fakultas Hukum UNPAR, termasuk Agustinus Pohan dan Ismadi yang terlibat dalam MCB, serta Olive dan Farid yang merupakan dosen di bidang hukum pidana dan hukum acara.

Selain itu, tim juga melibatkan rekan-rekan dari AAI Bandung, yang dipimpin oleh Aldi dan didampingi oleh beberapa pengurus aktif lainnya.

"Selama 2,5 hingga 3 bulan terakhir, kami terus berkomunikasi dan mengadakan pertemuan, baik secara online maupun offline," ujarnya.

Budi berharap, dengan adanya mekanisme kontrol yang lebih kuat, keadilan restoratif dapat benar-benar menjadi solusi yang adil bagi semua pihak, dan tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

"Harapannya, pada 9 April mendatang, kajian ini dapat selesai dan dipaparkan secara lengkap di Gedung Indonesia Menggugat," tandasnya.

Editor : Agung Bakti Sarasa

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network