BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Tagar #SaveRajaAmpat membanjiri media sosial, menyatukan ribuan warganet dalam seruan mendesak untuk melindungi keindahan alam Raja Ampat dari ancaman eksploitasi tambang nikel. Kawasan yang dijuluki "The Last Paradise" ini kini berada di ujung tanduk, menghadapi risiko kerusakan ekosistem yang tak ternilai harganya.
Kegaduhan ini bermula dari unggahan Greenpeace Indonesia yang membeberkan dokumentasi aktivitas penambangan di beberapa pulau di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Organisasi lingkungan global tersebut menuding bahwa penambangan nikel oleh perusahaan di bawah naungan PT Antam berpotensi menghancurkan keanekaragaman hayati laut dan lanskap pulau yang luar biasa.
"Satu per satu keindahan alam Indonesia dirusak dan dihancurkan hanya demi kepentingan sesaat dan golongan oligarki serakah," tulis Greenpeace tajam dalam salah satu unggahannya. Foto-foto yang menyertainya menunjukkan daratan pulau yang mulai terbuka akibat alat berat, dengan debu merah khas tambang mencemari pesisir dan laut biru yang selama ini menjadi daya tarik utama pariwisata Raja Ampat.
Nikel dan Hilirisasi: Dilema di Surga Tropis
Permintaan global akan nikel yang melonjak, terutama untuk baterai kendaraan listrik, mendorong pemerintah Indonesia gencar menggalakkan program hilirisasi. Selama ini, tambang nikel banyak ditemukan di Sulawesi dan Maluku Utara, namun kini fokus tampaknya bergeser ke Papua Barat Daya. Menurut catatan Greenpeace, setidaknya tiga pulau—Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran—telah menjadi lokasi eksplorasi nikel.
Ironisnya, Raja Ampat bukan hanya sekadar indah, tetapi juga memiliki nilai sakral dan ekologis yang tinggi. Kawasan ini telah diakui UNESCO sebagai Global Geopark dan merupakan rumah bagi ribuan spesies laut, menjadikannya salah satu kawasan laut dengan biodiversitas tertinggi di dunia.
Reaksi Pemerintah dan DPR: Janji Evaluasi dan Penegasan Regulasi
Menanggapi gelombang protes publik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan akan menindaklanjuti dan mengevaluasi izin tambang yang telah diberikan. "Saya akan panggil pemiliknya, baik itu BUMN maupun swasta," ujar Bahlil, seraya berjanji akan melibatkan jajarannya untuk menelaah kembali izin tambang di Raja Ampat. Pernyataan ini disambut positif, meski masyarakat menuntut transparansi dan aksi nyata.
Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, juga angkat bicara, menegaskan bahwa aktivitas tambang nikel di Raja Ampat telah melanggar regulasi. "Raja Ampat bukan kawasan biasa. Ini adalah warisan dunia yang harus dilindungi," tegas Novita, merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang memprioritaskan pemanfaatan pulau kecil untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian—bukan pertambangan.
Pemain di Balik Tambang dan Suara Warga Lokal
Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya menyebutkan bahwa perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat adalah PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining. Meskipun PT GAG Nikel merupakan anak usaha perusahaan BUMN, keberadaan mereka kini menjadi sorotan tajam. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana wilayah konservasi kelas dunia bisa masuk dalam peta izin tambang.
Protes tidak hanya datang dari organisasi besar. Masyarakat lokal Raja Ampat melalui media sosial turut menyuarakan kekhawatiran mereka, mengunggah foto-foto laut tercemar, terumbu karang rusak, dan testimoni warga yang kehilangan mata pencarian akibat keruhnya perairan. "Jangan curi masa depan anak cucu kami. Laut ini bukan hanya indah, tapi sumber hidup kami," tulis salah seorang warganet.
Gerakan #SaveRajaAmpat telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab. Di tengah ambisi Indonesia dalam energi bersih dan mobil listrik, kontroversi ini menjadi pengingat krusial: pembangunan sejati bukan hanya soal kemajuan teknologi dan investasi, tetapi juga tentang melindungi alam, menjaga warisan, dan merawat masa depan. Raja Ampat, sebagai aset tak tergantikan, harus dilindungi agar tidak rusak dan berdampak buruk bagi generasi mendatang.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait