Legenda Koi dari Bandung: Dari Hinaan hingga Diakui Dunia

Aga Gustiana
Hartono Soekwanto. (Foto: Ist)

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Sore itu di kawasan Cidadap, Kota Bandung, seorang pria paruh baya tampak sibuk menebar pakan di sebuah kolam berbentuk huruf L. Dikelilingi batu kali yang telah ditumbuhi lumut, ikan-ikan Koi tampak berebut menyantap makanan yang dilemparkan oleh tangan-tangan akrab mereka.

Pria itu adalah Hartono Soekwanto, nama yang tak asing di kalangan pecinta dan peternak Koi, baik di Indonesia maupun mancanegara. Di balik ketenangannya, tersimpan kisah inspiratif tentang perjuangan dan pencapaian luar biasa di dunia perikanan hias.

Awal Mula dari Kolam Kosong

Perjalanan Hartono dimulai pada 2008, ketika ia membeli sebuah rumah di kawasan Setrasari, Sukasari, Bandung. Rumah itu memiliki kolam kosong yang akhirnya memantik keputusannya memelihara ikan Koi pertama seharga Rp150.000 dari pasar.

"2008 itu saya beli rumah. Rumah itu ada kolam kosong, terus saya oprek-oprek. Saya beli ikan yang Rp150.000-an di pasar," kenangnya saat ditemui di kediamannya, Kamis (17/7/2025).

Namun, bukannya mendapat dukungan, justru cibiran datang dari rekan-rekannya. Mereka menganggap tak pantas kolam bagus diisi ikan Koi lokal yang dianggap murahan.

"Terus datang temen tapi malah ngehina. Ini kolam bagus pakai cor segala macam, tapi isinya Koi lokal," ujarnya.

Alih-alih tersinggung, komentar itu menjadi cambuk. Hartono memutuskan terbang ke Jepang — negara asal Koi — untuk belajar langsung dari para ahlinya.

Juara Dunia dalam Waktu Singkat

Tak butuh waktu lama bagi Hartono menunjukkan hasil. Dalam kurun dua tahun delapan bulan setelah belajar di Jepang, ia berhasil menjuarai kompetisi bergengsi di tingkat dunia.

"Setelah ikut kontes di sini, dengan Ikan Koi harga Rp50 juta, saya ke Jepang, belajar selama 2 tahun 8 bulan, hingga jadi juara dunia. Saya orang tercepat di dunia, dari belajar nama Koi dan juara dunia," kata Hartono, sembari tersenyum tipis.

Puncaknya, pada 2013, Hartono meraih predikat Grand Champion Nishikigoi of the World di Jepang melalui Koi jenis Kohaku bernama Mu-Lan Legend.

Pesan untuk Penghobi Koi di Tanah Air

Hartono menyadari bahwa memelihara Koi bukan sekadar hobi biasa. Butuh ketekunan, pengetahuan, dan yang paling utama: rasa bahagia.

"Memang enggak gampang lah pelihara Koi ini, kan tiap hari berubah. Dia nyaman di suhu air 24 sampai 28 derajat. Kalau malam mungkin 22 sampai 24 derajat, dia nyaman. Kedinginan enggak nyaman, kepanasan apalagi. Tapi Bandung kan sudah dapat semua suhunya. Tidak harus pakai chiller," jelasnya.

Bagi pemula, ia menyarankan untuk tetap semangat dan tidak terlalu terikat dengan standar Jepang. Menurutnya, Indonesia punya pendekatannya sendiri.

"Jangan menyerah, terus lanjutkan, terus improvisasi, lakukan cara Indonesia, Indonesia way. Jangan ngikutin Jepang, yang penting hasilnya yang sama. Saya yakin bisa, karena potensi kita luar biasa," tegasnya.

Di Balik Layar, Membina Petani Koi Indonesia

Meski telah mencicipi panggung dunia, Hartono memilih langkah berbeda dalam beberapa tahun terakhir. Ia lebih banyak berada di belakang layar, membina para petani Koi lokal dari Jawa Barat hingga Jawa Timur.

"Saya enggak pernah menjual, ngasih indukan saja ke ratusan petani binaan. Supaya teman-teman ini punya bibit, bloodline yang bagus. Ada kepuasan tersendiri memang, tapi dasarnya supaya Indonesia dihargai di dunia," jelasnya.

Upaya ini membuahkan hasil. Dalam lima tahun terakhir, Koi Jepang tak lagi mendominasi kompetisi di Indonesia. Bahkan dalam kejuaraan tahun ini di Jakarta, seorang petani dari Kediri berhasil meraih gelar juara.

"Lima tahun terakhir ini yang dari Jepang tidak pernah bisa menang di Indonesia. Perlombaan di Jakarta tahun ini, petani dari Kediri bisa menang. Jadi sudah bagus, sudah hebat, petani kita sudah enggak bingung," ujar Hartono bangga.

Selain kualitas, ukuran Koi hasil pembibitan petani lokal juga mengalami peningkatan signifikan. Kini, petani Indonesia sudah mampu menghasilkan Koi dengan panjang mencapai satu meter — lompatan jauh dari sebelumnya yang hanya 55 sentimeter.

"Sekarang waktunya untuk membantu petani untuk mengejar ukuran yang lebih panjang lagi. Makanya kita lakukan dengan mem-breeding yang semeteran," ujarnya.

Filosofi Koi: Tak Harus Sempurna, yang Penting Bahagia

Bagi Hartono, makna dalam memelihara Koi bukan semata mengejar gelar atau kesempurnaan. Ia percaya, seperti halnya makhluk hidup lain, tidak ada yang benar-benar sempurna.

"Ikan Koi atau makhluk hidup itu enggak ada yang sempurna. Koi juara dunia tidak sempurna. Cuman juara dunia itu adalah Ikan Koi yang terbaik waktu itu. Yang penting menikmati, kita happy, ikannya happy, ya sudah," ucapnya sambil merapikan rambut.

Dengan filosofi tersebut, Hartono Soekwanto terus melangkah, menabur ilmu dan bibit, membesarkan asa petani lokal agar Indonesia terus diperhitungkan dalam peta dunia per-Koi-an internasional.

Editor : Agung Bakti Sarasa

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network