Boikot Produk Israel: Pakar dan Ulama Ingatkan Dampak Ekonomi dan Sosial di Indonesia

Rina Rahadian
McDonald's. Foto/Istimewa

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Di tengah berlanjutnya agresi militer Israel terhadap Gaza, seruan boikot terhadap produk-produk global yang dianggap terafiliasi dengan Israel semakin meluas, termasuk di Indonesia.

Sayangnya, banyak daftar produk yang diboikot tersebar tanpa rujukan yang valid atau data yang akurat, sehingga menimbulkan kekhawatiran dampak negatif di dalam negeri.

Pakar: Boikot Tanpa Dasar Data Bisa Rugikan Ekonomi Nasional

Ekonom dari Universitas Airlangga, Gigih Prihantono, menyatakan bahwa aksi boikot yang tidak berbasis data valid dapat berdampak besar pada perekonomian nasional. Ia menegaskan bahwa fenomena ini bisa dikategorikan sebagai kampanye hitam (black campaign).

“Bisa berdampak ke ketenagakerjaan karena yang rugi justru kita sendiri jika kampanye ini meluas tanpa dasar,” ujarnya.

Gigih juga menyebutkan potensi efek domino seperti turunnya omzet pelaku usaha, ancaman PHK massal, dan menurunnya minat investasi asing.

Laporan Resmi PBB Ungkap Perusahaan yang Terlibat dalam Pelanggaran HAM

Salah satu sumber kredibel yang bisa dijadikan acuan adalah laporan resmi dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) yang dirilis pada Juni 2025. Laporan bertajuk From Economy of Occupation to Economy of Genocide mengungkap keterlibatan beberapa korporasi dalam pelanggaran HAM berat di Palestina.

Namun, menariknya, beberapa merek makanan dan minuman seperti Starbucks, KFC, dan McDonald's tidak disebutkan dalam laporan tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua brand yang menjadi target boikot benar-benar terlibat secara langsung.

Ulama NU: Boikot Harus Ada Dasar Syariat dan Tidak Merugikan Umat

Forum Bahtsul Masail NU, yang melibatkan para ulama dari berbagai pesantren di Jawa dan Madura, secara khusus membahas gerakan boikot ini. Mereka menilai bahwa boikot terhadap McDonald’s Indonesia tidak memiliki dasar syariat yang memadai.

“Dalam fiqih muamalah, hukum dasar berdagang adalah boleh. Maka, boikot hanya boleh jika ada keterkaitan yang jelas dan tidak menimbulkan kerugian besar bagi umat,” jelas K.H. Aris Ni’matullah dari Pondok Pesantren Buntet.

Para ulama juga menekankan bahwa kebijakan boikot semestinya menjadi wewenang pemerintah, bukan inisiatif individu atau kelompok yang tanpa dasar kuat.

Dampak Nyata: PHK dan Perlambatan Ekonomi Nasional

Data APINDO mencatat adanya 73.992 kasus PHK hingga Maret 2025 yang diduga turut dipicu oleh penurunan omzet akibat boikot. Sementara itu, Menkeu Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar antara 4,8%-5,0%, di bawah target 5,2%.

Gigih Prihantono mengingatkan bahwa jika gerakan boikot ini terus meluas tanpa kejelasan data, efek negatifnya bisa sangat nyata.

“Pemerintah perlu turun tangan memberikan edukasi dan meluruskan informasi yang keliru di tengah masyarakat,” katanya.

Solidaritas untuk Palestina Harus Bijak dan Tepat Sasaran

Solidaritas terhadap Palestina adalah sikap mulia, namun harus disalurkan dengan bijak dan tidak merugikan pihak yang tidak bersalah di dalam negeri. Aksi boikot yang tidak didasari informasi valid bisa menjadi bumerang.

“Sikap kritis dan berbasis data akan memperkuat posisi Indonesia secara moral, sekaligus melindungi masyarakat dari kerugian,” tegas Gigih.

Kesimpulan: Perlu Edukasi Publik, Data Akurat, dan Intervensi Pemerintah

Aksi boikot yang dilakukan secara serampangan bisa menjadi senjata makan tuan. Oleh karena itu, edukasi, verifikasi, dan panduan dari pemerintah serta ulama sangat diperlukan agar semangat solidaritas tidak berujung pada kehancuran ekonomi dan sosial bangsa sendiri.



Editor : Rizal Fadillah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network