RUU Masyarakat Hukum Adat Harus Jadi Instrumen Pemberdayaan, Bukan Sekadar Formalitas

Aga Gustiana
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. (Foto: Ist)

BANDUNG, iNewsBanudungraya.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menilai kejelasan aturan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat sangat krusial. Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut harus mampu memberikan ruang yang adil bagi masyarakat adat, baik dalam aspek administratif maupun ekonomi.

“Selama beberapa tahun terakhir, RUU Masyarakat Hukum Adat memang sudah dibahas sejak periode sebelumnya. Namun karena inisiatifnya berasal dari DPR, pembahasan belum bisa dilanjutkan sebagai carry over. Dari sisi legislatif, kita perlu memastikan regulasi yang disusun benar-benar berpihak pada masyarakat adat,” ujar Ledia.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Diskusi Publik Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang berlangsung di Kafe Sleepless Owl, Jakarta, pada Rabu (08/08). Dalam forum itu, Ledia menyoroti masih adanya perbedaan pemahaman di internal pemerintah terkait istilah dan batas wilayah masyarakat adat. Menurutnya, masalah definisi dan pencatatan menjadi titik krusial yang perlu diperjelas dalam RUU.

“Harus jelas dulu definisinya. Karena selama ini, desa adat, desa budaya, atau kampung adat sering kali dipahami berbeda-beda oleh lembaga pemerintah. Kalau hal ini tidak didefinisikan secara tegas di RUU, nanti akan muncul persoalan administratif dan klaim wilayah,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya pencatatan administratif untuk memastikan masyarakat hukum adat memperoleh perlindungan negara tanpa mengorbankan kearifan lokal. “Kita tidak bisa memaksa masyarakat hukum adat masuk dalam kerangka administratif pemerintahan daerah, tapi untuk diakui oleh negara, pencatatan tetap perlu dilakukan,” tambahnya.

Dari sisi ekonomi, Ledia mengingatkan bahwa aturan yang disusun jangan hanya berpihak pada pelaku usaha sebagaimana dalam Undang-Undang Cipta Kerja. RUU ini, katanya, harus juga memberi ruang bagi masyarakat adat untuk mengembangkan ekonomi berbasis komunitas.

“Alhamdulillah, ada masyarakat adat yang sudah berhimpun dan membentuk perseroan terbatas serta mendaftar lewat OSS. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak didampingi? Ini PR besar kita untuk memastikan masyarakat adat tetap bisa hidup dan berkembang tanpa terbebani syarat administratif yang berat,” tutur anggota Komisi X DPR RI ini.

Lebih jauh, Ledia mendorong perubahan cara pandang terhadap masyarakat adat. Ia menekankan bahwa masyarakat adat bukan sekadar kelompok pinggiran yang perlu dikasihani, tetapi komunitas yang memiliki potensi besar dan perlu didukung pertumbuhannya.

“Saya sangat percaya masing-masing daerah ini, mereka akan punya potensi masing-masing dengan pendampingan, karena mau tidak mau harus dibangunkan jembatan antara sudut pandang ekonomi ekstraktif dengan ekonomi kerakyatan yang ada di masyarakat adat, harus ada yang membangunkan jembatan. Dan alhamdulillah ada banyak koalisi masyarakat sipil yang sudah membangunkan jembatannya,” ungkap legislator daerah pemilihan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini.

Di akhir pemaparannya, Ledia menekankan bahwa kunci keberhasilan penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat terletak pada keberpihakan kebijakan terhadap kemandirian masyarakat adat.

“Jembatan itu bisa dibangun, tapi tetap harus ada regulasi pemerintah yang pro. Bagaimana membangunkan sebuah perspektif regulasi yang lebih memberikan keberpihakan kepada pengembangan ekonomi masyarakat adat. Bukan menempatkan mereka kepada kategori masyarakat marginal, tetapi justru bagaimana kita membangun sebuah paradigma melakukan akselerasi dalam pertumbuhan ekonomi di dalam masyarakat,” tutupnya.

Editor : Agung Bakti Sarasa

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network