Dalam diskusi, Avianti Armand, penulis yang juga berprofesi arsitek mengatakan, literatur dan arsitektur secara praktik memiliki kesamaan dalam hal pengaturan sequence.
"Yang satu mengatur ruang fisik, yang satu mengatur ruang pikir dan rasa," kata Avianti.
Pemenang Khatulistiwa Literary Award kategori puisi ini menyatakan, tanpa sadar mengaplikasikan struktur dan alur ruang dalam studi arsitektur ke dalam karya literatur. "Seperti di dalam Buku Tentang Ruang dan Museum Masa Kecil," ujar Avianti.
Ray Shabir, mengatakan, mengintegrasikan proses kerja desain dan literatur, melalui proses umpan balik terus-menerus antara visual dan teks di dalam pembuatan bukunya.
“Ada beberapa teks yang justru muncul dari trigger visual terlebih dahulu. Lebih sering lagi di dalam kepala muncul gambar yang diputar bersama narasi yang sedang dituliskan,” kata Ray.
Percakapan ini membuka ruang bagi publik untuk melihat bahwa desain dan sastra tidak berjalan sendiri, melainkan saling memperkaya dalam membentuk cara kita membaca dunia.
Sebagai bagian dari program MTN Seni Budaya bidang Sastra, sesi “Form and Fiction” menegaskan pentingnya mendukung talenta muda yang bekerja lintas disiplin.
Pendekatan MTN Seni Budaya yang berkelanjutan, dari pembinaan, mentoring, hingga akses ke jaringan dan panggung, diharapkan mampu melahirkan lebih banyak talenta Indonesia yang siap bersaing di level internasional.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait
