BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA.ID - Pemerinah diminta segera menyelesaikan potensi atau kasus pengambilalihan paksa (hostile take over) di berbagai industri seperti tambang. Sebab semua itu bermula dari adanya celah prosedur hukum yang rentan dimainkan.
Desakan itu datang dari Indonesia Police Watch (IPW) yang melihat ada praktik hostile take over yang kini sedang ramai terjadi. Salah satunya menimpa perusahaan tambang pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) PT Citra Lampia Mandiri (PT CLM) oleh pengusaha berinisial ZAS yang berkolaborasi dengan pengusaha besar berinisial SAA.
Hostile take over dimulai dengan perbuatan hukum ZAS sebagai Direktur perusahan berinisial AMI. Ia dibantu oleh Notaris berinisial OKA melalui pembuatan Akta Nomor 6 Tanggal 24 Agustus 2022 yang mengambil alih 100 persen saham PT APMR.
Padahal Putusan BANI memerintahkan perusahaan berinisial APMR hanya wajib mengalihkan atas pemilikan saham 50 persen PT APMR dari 100 persen saham yang berjumlah 200 lembar saham.
Sehingga dengan penguasaan 100 persen saham perusahaan AMI melalui notarisnya diduga terjadi dugaan penggelapan saham dan memberikan keterangan palsu ke dalam akta otentik karena Putusan BANI Nomor: 43006/I/ARB/BANI/2020 Tanggal 24 Mei 2021.
Hal ini berlanjut dengan diterbitkannya Akta Notaris Nomor 6 tanggal 13 September 2022 yang meningkatkan saham milik perusahaan AMI di perusahaan APMR menjadi 500 persen dengan dasar putusan BANI dan Akta Nomor 6 tanggal 24 Agustus 2022. Padahal, putusan BANI tidak pernah menyebutkan adanya peningkatan saham menjadi 500 persen.
"Dalam kasus ini, IPW menilai dugaan memasukan keterangan yang palsu di dalam akta otentik tersebut,” kata Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso melalui keterangan tertulisnya, Rabu (18/1/2023).
Maka dari itu, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo bahwa investor harus dilindungi, maka IPW mendesak Menkopolhukam Mahfud MD untuk turun tangan mengatasi hostile take over oleh oknum dengan menggunakan prosedur hukum yang menyimpang.
Editor : Zhafran Pramoedya