JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi menilai pemberian gelar pahlawan nasional terhadap mendiang Profesor Mochtar Kusumaatmadja sangat pantas.
Semasa hidup, Mochtar Kusumaatmadja pernah menjabat sebagai menteri kehakiman (1974-1978), Menlu RI (1978-1988), guru besar Universitas Padjajaran (Unpad), dan merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi anggota Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Beliau (Mochtar Kusumaatmadja) adalah seorang diplomat ulung yang berhasil menorehkan beberapa jejak yang tidak akan terhapus dalam sejarah diplomasi Indonesia,” kata Retno di Jakarta, Rabu (24/5/2023).
Retno lantas menjelaskan tiga kiprah utama Mochtar Kusumaatmadja dalam dunia diplomasi yang tidak bisa begitu saja dilupakan. Khususnya dalam memajukan hukum internasional, soft power diplomacy (diplomasi kekuatan lunak) dan mediasi.
Pertama, pria yang lahir di Batavia, Hindia Belanda ini dikenal atas peran pentingnya memperjuangkan pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan.
Capaian itu dianggap luar biasa karena merupakan perjuangan diplomasi Indonesia selama 25 tahun yang melahirkan Deklarasi Juanda, dan kemudian menjadi hukum internasional yang diakui dalam Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
“Indonesia berhasil memperoleh wilayah perairannya tanpa mengangkat senjata. Perairan pedalaman kita tidak lagi terpecah wilayahnya tetapi menjadi lebih utuh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). dan UNCLOS 1982 ini akan terus digunakan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk di Laut China Selatan,” ujar Retno.
Kedua, Mochtar merupakan tokoh yang mengedepankan soft power diplomacy dengan mempromosikan budaya Indonesia di kancah internasional.
Upaya yang dilakukan sosok kelahiran 17 Februari 1929 itu antara lain, mendirikan restoran Nusantara Indonesia di New York, Amerika Serikat pada 1986, membentuk Nusantara Chamber Orchestra pada 1988 serta mengusung pameran kebudayaan Indonesia di AS pada 1990-1991.
“Semua ini dilakukan demi membangun citra positif Indonesia di mata dunia, sekaligus memperkuat jembatan kebudayaan antara Indonesia dengan negara lain,” beber Retno.
Di dalam negeri, Mochtar juga mendirikan Museum Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang merupakan pengingat tonggak kepemimpinan Indonesia yang menginspirasi kemerdekaan banyak bangsa di dunia pada masa itu.
“Jadi pemanfaatan soft power dalam diplomasi merupakan sebuah terobosan pada masanya,” ucap Retno.
Ketiga, Mochtar dihormati atas inisiatifnya dalam memediasi konflik antara Vietnam dan Kamboja.
Menurut Retno, upaya diplomasi Mochtar membuka jalan bagi rangkaian proses perdamaian dengan menghasilkan Ho Chi Minh City Understanding yang kemudian menjadi landasan pelaksanaan Jakarta Informal Meetings, hingga berujung pada Paris Peace Agreement yang sampai saat ini masih terus diingat setidaknya oleh Kamboja dan Vietnam.
“Sebagai menlu, beliau paham betul pentingnya stabilitas dan keamanan di kawasan dan ekspektasi dunia terhadap kepemimpinan Indonesia di dalam menyelesaikan berbagai konflik,” kata Retno.
Dengan berbagai kiprah itu, Mochtar memastikan bahwa Indonesia bisa tetap berdiri tegak dalam memperjuangkan kepentingan nasional sekaligus terus berupaya berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia.
“Bagi saya, Prof. Mochtar sudah merupakan seorang pahlawan. Karena itu, pemberian gelar pahlawan nasional bagi beliau sangatlah pantas sebagai penghormatan terhadap kontribusi beliau bagi Indonesia dan dunia, sekaligus memastikan beliau terus menjadi inspirasi bagi generasi muda bangsa Indonesia, khususnya bagi para diplomat Indonesia,” tandas Retno.
Editor : Zhafran Pramoedya