Untuk diketahui, daftar tunggu haji saat ini sangat lama. Saat ini, rata-rata daftar tunggu selama 37 tahun. Di Kalimantan Selatan 36 tahun, Jawa Tengah 34 tahun, Nusa Tenggara Barat (NTB) 36 tahun, Sulawesi Selatan 34 tahun. Bahkan salah satu kabupaten di NTB, daftar tunggu hajinya selama 40 tahun.
Di Jawa Barat, rata-rata daftar tunggunya 25-30 tahun. Kabupaten Bandung 30 tahun. Tapi ini masih mending, karena dibandingkan Malaysia sampai 150 tahun. "Karena itu, UU Haji Nomor 13 tahun 2008 direvisi menjadi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji," ujar Kang Ace.
Kang Ace menuturkan, UU Nomor 8 tahun 2019 juga mengatur tentang pembagian kuota haji menjadi dua komponen. Pertama yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Ibadah haji reguler oleh pemerintah 92 persen. Sedangkan 8 persen oleh PIHK.
Pembagian kuota ini, ujar Kang Ace, demi kepentingan umat. Sebab, banyak orang yang menunggu puluhan tahun untuk berangkat haji. Maka, persentase terbesar 92 persen untuk haji reguler. Di dalam UU Haji tegas haji reguler 92 persen dan haji khusus 8 persen.
"Kenapa tidak diambil semua untuk haji reguler? Sebab dunia usaha haji dan umrah pun harus hidup. Banyak orang yang hidup dari pelaksanaan ibadah haji," tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Kang Ace juga menjelaskan terkait pengelolaan keuangan haji imbas dari daftar tunggu yang lama. Semakin banyak daftar maka semakin banyak orang yang melakukan setoran uang.
"Lalu siapa yang mengelola? Apakah Kementerian Agama (Kemenag) punya kewenangan mengelola keuangan tersebut? Untuk diinvestasikan, didiamkan, atau untuk apa?" tutur dia.
Editor : Ude D Gunadi