IAW Minta Pemerintah Benahi Perkebunan Sawit dengan Meredefinisi Ulang Hutan

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan serius dalam menertibkan alih fungsi hutan yang sudah terjadi secara sistemik sejak era kolonial.
Perubahan tersebut bukan hanya berdampak pada lingkungan hidup, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi negara, menciptakan konflik agraria, dan memperumit sistem tata kelola lahan.
Indonesian Audit Watch (IAW) mengusulkan model penyelesaian alih fungsi kawasan hutan yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit, untuk mendukung target maksimalisasi produksi sawit nasional sebagaimana harapan Presiden Prabowo Subianto.
Usulan disampaikan melalui surat bernomor 017/IAW/IV/25 yang dikirimkan kepada Ketua Pengarah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) pada 11 April 2025.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus menegaskan, penanganan masalah alih fungsi kawasan hutan yang telah berlangsung sejak era kolonial harus dilakukan secara komprehensif dan terukur, bukan hanya administratif.
"IAW telah mengirimkan surat kepada Ketua Pengarah Satgas PKH tanggal 11 April 2025 nomor 017/IAW/IV/25 dengan perihal Usul Model Penanganan Alih Fungsi Hutan yang Telah Menjadi Perkebunan Sawit Guna Mewujudkan Harapan Presiden Prabowo Subianto Maksimalisasi Produksi Sawit Indonesia," kata Iskandar, Senin (14/4/2025).
IAW menegaskan pentingnya redefinisi arti dan fungsi hutan dalam regulasi nasional. Ketidakkonsistenan definisi sejak masa kolonial hingga kini telah menyebabkan kebingungan kebijakan dan tumpang tindih implementasi di lapangan. Tanpa redefinisi, kebijakan tata kelola kehutanan akan terus awut-awutan dan tidak akan berpijak pada prinsip keadilan ekologis dan pengakuan terhadap masyarakat adat.
IAW menginventarisasi sedikitnya 30 karakteristik persoalan di lapangan, antara lain tumpang tindih izin, penggunaan kawasan hutan tanpa pelepasan resmi, sawit di hutan primer dan gambut, tidak adanya audit lingkungan, lemahnya pengawasan, serta penyimpangan dana replanting dan BPDPKS. Selain itu, ditemukan praktik penghindaran pajak, sertifikasi yang tidak tertib, konflik dengan masyarakat adat, degradasi tanah dan air, serta minimnya kontribusi terhadap pendapatan asli daerah.
Iskandar mengungkapkan, akar persoalan bisa ditelusuri sejak era kolonial Belanda, lewat Agrarische Wet 1870 dan Boschordonnantie 1920 dan 1927, yang menyatakan tanah tanpa bukti kepemilikan sebagai milik negara. Sistem tersebut diwarisi ke masa kemerdekaan melalui UU Nomor 5 Tahun 1967 dan diperkuat dengan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, meski kemudian sempat dikoreksi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun, implementasinya dinilai masih lemah.
UU Cipta Kerja 2020 memperluas ruang legalisasi sawit dalam kawasan hutan, yang menurut IAW justru memperparah deforestasi. Greenpeace mencatat, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, 3,25 juta hektar hutan hilang.
Data audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat kekhawatiran tersebut. Pada 2022, BPK menemukan 3,1 juta hektar sawit berada di kawasan hutan tanpa izin pelepasan. Kerugian negara ditaksir mencapai triliunan rupiah dari hilangnya potensi PSDH, DR, dan PNBP.
Kemudian, audit tahun 2021 mencatat lebih dari 1.200 entitas mengelola sekitar 3,3 juta hektar kawasan hutan tanpa legalitas. Lalu, audit 2019–2021 juga menemukan banyak perusahaan tidak memenuhi kewajiban pembayaran, dan audit investigatif 2023 menyoroti keterlibatan aparat dalam pelepasan kawasan secara ilegal.
Namun, dalam studi yang dipublikasikan International Journal of Agronomy 2021, satu hektar sawit dapat menyerap 64 ton CO₂ per tahun—jauh lebih tinggi dibanding tanaman jagung yang hanya 30–40 ton. Bila potensi tersebut dikelola dengan pendekatan karbon, Indonesia bisa meraup pendapatan besar dari perdagangan karbon. Dengan harga USD 5 per ton, maka 3 juta hektar sawit dapat menghasilkan USD 960 juta atau sekitar Rp15 triliun per tahun.
IAW menekankan pentingnya kelapa sawit dikelola sebagai solusi iklim berbasis keberlanjutan. Mereka mengusulkan skema insentif fiskal untuk perusahaan yang patuh terhadap prinsip ISPO/RSPO, termasuk pengurangan tarif PPh, akses kredit berbunga rendah, insentif bea ekspor berbasis emisi, hingga sistem pajak karbon yang bisa dikembalikan bila terbukti menyerap karbon secara bersih.
Untuk menjamin transparansi, IAW mendorong pengawasan digital berbasis dashboard terpadu. Sistem ini akan memuat data izin, lokasi GPS, laporan audit BPK, serta status sertifikasi keberlanjutan. Pengawasan juga harus dilakukan secara kolaboratif antara BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung sesuai nota kesepahaman antar-lembaga pada 2023.
“Tidak boleh lagi ada penyimpangan teknis seperti pengesahan izin yang tidak diverifikasi lapangan, atau manipulasi luas lahan sawit. Semua harus berbasis data, verifikasi digital, dan live audit,” tegas Iskandar.
IAW juga menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada sanksi dan pemulihan, tetapi juga memberi ruang insentif bagi perusahaan yang benar-benar patuh dan pro-lingkungan. Skenario insentif fiskal yang diusulkan meliputi pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) hingga 50% bagi perusahaan sawit yang sudah bersertifikasi ISPO/RSPO, akses kredit berbunga rendah melalui Bank BUMN khusus sawit hijau, insentif bea ekspor berbasis emisi, dan Pajak Karbon yang Dapat Dikembalikan (Refundable Carbon Tax).
Untuk memastikan pengawasan yang efektif, IAW menekankan pentingnya pengawasan berbasis audit investigatif yang kolaboratif antara BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung. Pengawasan berbasis dashboard digital terpadu wajib diadopsi Satgas PKH, yang menggabungkan data izin, posisi GPS, laporan audit BPK, hingga sertifikasi ISPO dan RSPO.
Sebagai solusi struktural dan legal yang terukur, IAW mengusulkan model penyelesaian alih fungsi hutan meniru pendekatan Badan Bank Tanah, yakni dengan menerbitkan Peraturan Presiden tentang Penataan Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan. Perpres tersebut menetapkan skema pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada lembaga negara seperti Perum Perhutani untuk menjadi pemegang mandat atas kawasan-kawasan yang telah terkonversi menjadi kebun sawit.
Di atas HPL tersebut, negara melalui Perum Perhutani dapat memberikan Hak Guna Usaha (HGU) terbatas kepada perusahaan yang memenuhi standar keberlanjutan dan memiliki rekam jejak kepatuhan hukum. Dalam jangka menengah, perusahaan sawit penerima HGU di atas HPL wajib melakukan integrasi agroforestri pada sebagian areal konsesi, demi mengurangi dampak negatif monokultur dan mendukung transisi menuju ketahanan pangan dan energi berbasis lahan berkelanjutan.
Iskandar menegaskan, penanganan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit tidak bisa lagi dilakukan secara sektoral dan administratif semata. Diperlukan pendekatan sistemik, interdisipliner, dan lintas kelembagaan yang berbasis audit, hukum, keadilan ekologis, dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
"Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum emas untuk menata ulang seluruh struktur tata kelola kehutanan nasional. Sawit bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga dapat menjadi instrumen pengelolaan karbon nasional dan alat diplomasi iklim strategis bagi Indonesia dalam forum global," pungkas Iskandar. (*)
Editor : Abdul Basir