Waspada! Ibu Kota Jabar Dikepung Banjir Akibat Kemarau Basah, Ini Imbauan BMKG

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Fenomena Kemarau Basah kembali menjadi perhatian setelah Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, dikepung banjir pada pertengahan Mei 2025. Meskipun seharusnya memasuki musim kemarau, intensitas curah hujan di wilayah ini masih tinggi, menyebabkan genangan di berbagai titik kota.
Fenomena Kemarau Basah adalah kondisi anomali iklim di mana curah hujan tetap tinggi meski kalender menunjukkan musim kemarau. Penyebab utamanya adalah kombinasi antara suhu permukaan laut yang hangat di wilayah Indonesia dan pola angin basah dari Samudra Hindia.
BMKG juga menyebut pengaruh fenomena La Nina yang melemah namun belum sepenuhnya hilang turut memperpanjang musim hujan di sebagian wilayah.
Banjir di Kota Bandung terpantau merata di lima kecamatan, dengan wilayah terparah meliputi:
1. Kecamatan Dayeuhkolot: tinggi air mencapai 70 cm
2. Kecamatan Bojongsoang: banjir meluas ke perumahan padat penduduk
3. Kecamatan Rancasari: kawasan perniagaan lumpuh
4. Kecamatan Gedebage: mengganggu akses menuju stadion GBLA
5. Kecamatan Kiaracondong: jalur KA dan jalan protokol tergenang
Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandung, sedikitnya 3.200 warga terdampak dan lebih dari 700 rumah mengalami kerusakan ringan hingga sedang.
BMKG memperingatkan bahwa intensitas hujan akibat kemarau basah masih akan terjadi hingga awal Juli 2025. Warga diimbau untuk tidak membuang sampah sembarangan agar saluran air tidak tersumbat.
"Meski ini disebut kemarau, tapi cuaca tetap ekstrem. Curah hujan bisa di atas 100 mm per hari di beberapa wilayah Jabar," ujar Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG.
BMKG juga telah menerbitkan buletin iklim edisi Mei 2025 yang memuat prediksi wilayah rawan banjir akibat pola atmosfer basah.
Kemarau Basah yang melanda ibu kota Jabar menjadi pengingat bahwa perubahan iklim nyata dan tak bisa dianggap remeh. Butuh kerja sama masyarakat, pemerintah, dan dunia akademik untuk membangun kota yang tangguh menghadapi anomali cuaca.
Dengan memahami penyebab, mengenali risikonya, dan menyiapkan langkah adaptasi, masyarakat bisa mengurangi dampak buruk dari fenomena ini.
Editor : Agung Bakti Sarasa