Goa Belanda: Jejak Kelam Kolonial di Balik Pesona Alam Bandung

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Di balik rimbunnya pepohonan dan udara sejuk kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, tersimpan sebuah terowongan tua yang menyimpan banyak rahasia.
Goa Belanda, meski tak lagi digunakan sebagaimana awal pembangunannya, tetap menyimpan daya tarik tersendiri, antara kisah sejarah, misteri, dan kisah-kisah mistis yang membalutnya.
Goa Belanda dibangun pada tahun 1906 oleh pemerintah Hindia Belanda, bukan sebagai tempat wisata atau tempat tinggal, melainkan sebagai terowongan buatan untuk mendukung proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dari Sungai Cikapundung. Seiring waktu dan meningkatnya konflik politik, fungsi terowongan pun berubah drastis.
Saat situasi keamanan memburuk menjelang Perang Dunia II, terowongan ini difungsikan ulang sebagai pusat operasi militer: markas komunikasi rahasia, penjara bawah tanah, hingga ruang interogasi. Lokasinya yang tersembunyi dan terlindungi menjadikannya ideal sebagai basis komunikasi dibandingkan lokasi lain seperti Gunung Malabar yang rawan diserang.
Secara fisik, Goa Belanda memiliki panjang sekitar 500 meter dengan 15 lorong cabang yang mengarah ke ruang-ruang berbeda. Dari ruang kendali, area observasi tersembunyi, hingga deretan sel tempat para tahanan disekap, semuanya masih bisa disusuri hingga hari ini. Di salah satu sisi terdapat lorong sempit menuju tangga pengawasan, dan di sisi lainnya, deretan ruang penjara yang menyimpan banyak cerita pilu.
Tak jauh dari sini, hanya sekitar 600 meter, berdiri Goa Jepang yang dibangun oleh pendudukan berikutnya. Meskipun serupa, Goa Jepang memiliki 18 ruang dan digunakan sebagai tempat perlindungan, penjara, sekaligus ruang taktik militer.
Goa Belanda dikenal bukan hanya karena nilai sejarahnya, tapi juga karena cerita-cerita mistis yang menyelimutinya. Banyak pengunjung mengaku mendengar suara tangis samar dari dalam lorong atau merasa diawasi saat menyusuri bagian dalam gua.
Legenda yang berkembang menyebutkan, para pekerja paksa yang tewas saat membangun terowongan ini dibuang ke Sungai Cikapundung, menjadikan lokasi ini diyakini menyimpan energi spiritual yang berat. Beberapa warga percaya bahwa arwah Prabu Siliwangi, sosok penting dalam sejarah Sunda, turut menjaga kawasan ini secara gaib.
Satu hal penting yang harus diingat pengunjung: hindari mengucapkan kata “lada” saat berada di dalam Goa Belanda. Kata ini dipercaya berhubungan dengan tokoh spiritual lokal, Ki Lada Wisesa. Masyarakat meyakini, menyebut kata tersebut bisa memicu pengalaman gaib, mulai dari perasaan tak nyaman hingga kesurupan.
Pantangan ini sudah lama menjadi bagian dari cerita turun-temurun dan tetap dihormati hingga sekarang.
Kini, Goa Belanda telah dilengkapi dengan fasilitas wisata meskipun tidak menghilangkan kesan aslinya. Berbeda dari Goa Jepang yang masih dibiarkan dalam kondisi mentah, Goa Belanda sudah mengalami beberapa tahap renovasi agar lebih aman untuk dikunjungi.
Wisatawan disarankan membawa senter karena bagian dalam goa cukup gelap dan lembap. Untuk pengalaman yang lebih lengkap, tersedia pemandu wisata dengan biaya sekitar Rp30.000 per rombongan.
Lokasi Goa Belanda sangat mudah dijangkau. Hanya berjarak sekitar tujuh kilometer dari pusat Kota Bandung, tempat ini bisa dicapai dengan angkutan umum seperti angkot Ciroyom–Ciburial (hijau-putih) atau Dago–Caringin (jingga). Setelah tiba di gerbang Tahura, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 800 meter melewati jalur rindang yang telah dilengkapi dengan warung, kursi istirahat, dan petunjuk arah.
Editor : Rizal Fadillah