Polemik Rombel 50 Siswa di Jabar, FKSS Ancam Gugat Keputusan Gubernur

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menaikkan batas maksimal rombongan belajar (rombel) dari 36 menjadi 50 siswa per kelas di sekolah negeri menuai kontroversi. Langkah ini tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah yang kini tengah mendapat sorotan tajam dari kalangan sekolah swasta.
Dalam rapat kerja Komisi V DPRD Jawa Barat, Selasa (8/7/2025), perwakilan Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) menyuarakan keberatan mereka terhadap kebijakan tersebut, yang dinilai mengancam kelangsungan pendidikan swasta dan menyalahi kesepakatan sebelumnya.
Ketua FKSS SMK Jawa Barat, Ade Hendriana, menyatakan bahwa walau tujuan mencegah anak putus sekolah disepakati bersama, pelaksanaannya perlu ditinjau ulang. Ia menyebut kebijakan ini “ugal-ugalan” dan mengabaikan kontribusi sekolah swasta dalam sistem pendidikan.
“BMPS sepakat dengan Gubernur Jabar terkait Kepgub Pencegahan Anak Putus Sekolah karena sesuai dengan tujuan BMPS. Oleh sebab itu karena tujuan sama maka sekolah swasta perlu dilibatkan. Terkait Kepgub, BMPS minta diperbaiki karena dianggap ugal-ugalan dan berpotensi digugat,” tegas Ade.
Menurutnya, jumlah siswa yang mendaftar di sekolah swasta anjlok hingga hanya 30 persen tahun ini, akibat daya tampung sekolah negeri yang meningkat drastis.
Ade mengusulkan pendekatan alternatif agar siswa dari keluarga kurang mampu bisa diarahkan ke sekolah swasta, disertai dengan subsidi dari pemerintah daerah.
“Daripada penambahan siswa dipaksakan di sekolah negeri, lebih baik diberikan ke sekolah swasta. Karena siswa di sekolah negeri juga perlu dibiayai pemerintah, mengapa tidak biaya tersebut diberikan kepada sekolah swasta sebagai subsidi?” katanya.
FKSS bahkan telah menyiapkan opsi hukum bila tuntutan revisi Kepgub tidak direspons oleh Pemprov Jabar.
“Intinya, kami sudah siap apabila harus berlanjut di PTUN, makanya dari sekarang mulai dirumuskan segala sesuatunya kalau nantinya harus mengajukan gugatan,” ujar Ade.
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Purwanto, menegaskan bahwa kebijakan ini didesain untuk menjangkau anak-anak dari kelompok rentan, terutama mereka yang terancam putus sekolah karena kendala ekonomi, bencana, atau tidak memiliki dokumen kependudukan.
“Semangatnya adalah untuk mencegah anak-anak yang dikhawatirkan tidak sekolah karena persoalan geografis, afirmatif, bisa karena bencana, atau karena anak yatim miskin, susah administrasi kependudukannya dan itu kita temukan,” jelasnya.
Ia menyebutkan contoh kasus anak miskin dari keluarga cerai yang tidak memiliki dokumen lengkap. Situasi seperti inilah, menurutnya, yang ingin diselesaikan melalui penambahan rombel.
Purwanto menambahkan bahwa kebijakan ini tidak diterapkan secara merata, melainkan hanya di area dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan banyak keluarga prasejahtera.
“Di sekolah-sekolah yang padat penduduknya, kemudian dekat dengan alamat orang miskin. Karena kan ada data KETM ya, Keluarga Ekonomi Tidak Mampu, yang sudah ada sekitar 61 ribu masyarakat kita terindikasi masuk ke data itu,” paparnya.
Ia juga menyampaikan bahwa meskipun jumlah siswa di sekolah negeri ditingkatkan, sekitar 400 ribu lulusan tetap tidak tertampung dan dapat diarahkan ke sekolah swasta atau madrasah.
“Dari lulusan kita sekitar 700 ribuan, itu masih ada sekitar 400 ribuan anak yang tidak tertampung di negeri, bahkan setelah penambahan rombel,” ungkap Purwanto.
Sebagai upaya jangka panjang, Pemprov Jabar menyiapkan pembangunan 661 ruang kelas baru (RKB) dan 15 unit sekolah baru (USB) untuk jenjang SMA dan SMK. Proyek ini didukung anggaran sebesar Rp300 miliar, mencakup pembangunan ruang, perabot, dan toilet.
“Kalau sekarang 50, nanti akan ditambah ruang kelas di situ. Jadi bisa kembali normal ke angka 36 kalau sudah ditambah,” kata Purwanto.
Ia menargetkan agar pembangunan bisa dimulai melalui anggaran perubahan tahun 2025. Bila tidak memungkinkan, akan dialihkan ke APBD murni tahun 2026.
“Bisa pindah. Bisa diurai lagi kelasnya. Jadi nggak 50 sampai lulus,” tutupnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa