Modernisasi Angkot di Bandung Tuai Pro-Kontra, Sopir Senior Merasa Tersingkir

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id – Wacana pengoperasian Angkot Pintar di Kota Bandung mulai menyita perhatian para sopir angkutan kota.
Modernisasi sistem transportasi ini dinilai sebagai langkah penting, namun menyisakan kegelisahan, terutama di kalangan sopir senior yang khawatir tersingkir dan kehilangan mata pencaharian.
Program Angkot Pintar yang diusung Pemerintah Kota Bandung dirancang untuk merevolusi layanan angkutan kota dengan sistem trayek berbasis wilayah, integrasi GPS, pembayaran non-tunai, serta pengoperasian berbasis aplikasi. Meski terdengar menjanjikan, sejumlah sopir mengaku belum mendapat sosialisasi langsung dan mempertanyakan kejelasan masa depan mereka.
“Program ini bagus, tapi belum ada sosialisasi langsung. Saya tahu cuma dari media sosial,” ujar Rihmat, sopir angkot yang sudah puluhan tahun beroperasi di Bandung, Rabu (6/8/2025).
Ia mengakui sistem saat ini semrawut dan butuh pembenahan. Namun, ia mengingatkan bahwa transformasi tidak bisa dilakukan sepihak.
“Kalau nanti sopir digaji dan ada batas usia, bagaimana nasib kami yang sudah di atas 50 tahun? Jangan sampai perubahan ini malah mematikan kami,” tegasnya.
Hal serupa disampaikan oleh Ismail (61), sopir angkot yang sudah merasakan transisi dari era Bemo.
“Aturan boleh-boleh saja. Tapi kendaraan ini banyak, belum jelas mau dikemanakan. Dulu juga sempat ada wacana aplikasi, tapi tak pernah selesai,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa kondisi saat ini ekonomi sopir angkot sudah terjepit, tidak bisa mencapai target yang harus disrtorkan perhari.
“Buat setoran aja susah, apalagi buat kebutuhan rumah,” imbuhnya.
Sementara itu, Dadang, sopir lainnya, juga mengeluhkan minimnya informasi dari dinas terkait.
“Kami butuh kepastian. Jangan cuma diumumkan di media, ajak kami bicara. Kalau gak bisa narik lagi, kami makan dari mana?”
Di sisi lain, sebagian sopir muda menyambut baik perubahan. Panca, yang juga menjadi ojek daring, merasa lebih siap karena terbiasa dengan sistem digital.
“Saya biasa pakai aplikasi. Tapi pemerintah harus tetap perhatikan nasib sopir senior. Harus ada pelatihan, bantuan transisi, dan jaminan penghasilan,” ujarnya.
Ion, sopir lain yang ditemui di terminal, menyoroti persoalan penghasilan. Ia mendukung pembaruan sistem trayek asalkan tidak berdampak pada jumlah penumpang.
“Kalau pendapatan tetap aman, ya gak masalah. Tapi kalau rutenya berubah dan penumpang sepi, kami yang rugi,” kata Ion. Ia menyebut saat ini penghasilan sopir rata-rata hanya Rp100 ribu per hari.
Berbeda dengan Panca dan Ion, Ferry (40) mengaku menolak rencana Angkot Pintar.
“Gak setuju atuh. Sekarang aja sepi, kadang sehari cuma bawa satu penumpang. Buat bensin aja gak cukup,” keluhnya.
Meski beragam, suara para sopir angkot di Bandung berpadu pada satu hal mereka ingin dilibatkan dalam setiap tahap perubahan.
“Kami ini bukan penghalang kemajuan. Kami bagian dari solusi. Asal diberi tempat,” tegas Dadang menutup perbincangan.
Editor : Rizal Fadillah