Wakil Sekretaris ICMI Jabar Ungkap Motif Dibalik Tuntutan Pembubaran DPR Oleh Demonstran

BANDUNG,iNews BandungRaya.id - Demo yang terjadi di berbagai daerah termasuk di Jawa Barat dengan tuntutan bubarkan DPR memantik perhatian berbagai kalangan.

Wakil Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Barat Asep Lukman mengatakan, hubungan eksekutif, legislatif dan yudikatif itu “setali tiga uang” yang satu pun dari ketiga lembaga tersebut mustahil dapat hilangkan atau dibubarkan.

Baca Juga

Faqih Wartawan Korban Penganiayaan Demonstran Tolak UU TNI Lapor ke Polrestabes Bandung

Kalaulah ada kekuatan yang mampu membubarkan DPR misalnya, maka negara pun otomatis akan ikut bubar. Tidak hanya secara teori namun secara absolut DPR menjadi bagian inti dari negara termaktub dalam UUD 45.

"Demonstran yang menuntut pembubaran DPR itu merupakan luapan kekecewaan semata akibat terpicu oleh banyak faktor, dan yang paling penting faktor ekonomi. Karena kedaan mayoritas masyarakat saat ini sedang benar-benar terhimpit kemiskinan atau mendekati indikasi akan terjadinya kelaparan masal, di lain pihak kepedulian pemerintah nyaris dianggap “nol besar”," tuturnya, Senin (1/9/2025).

Dikatakannya, bangsa ini telah sepakat menjadikan sistem demokrasi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernagara.

Baca Juga

Kecewa Ganti Rugi Lahan, Kantor Bupati Pohuwato Dibakar Demonstran

Demokrasi sebagai konsep yang bertransformasi dari monarki, teokrasi, dan otokrasi telah menetapkan bahwa eksekutif, legislatif serta yudikatif merupakan lembaga inti negara atau yang dikenal sebagai Trias Politika.

"Ketiganya memiliki peran berbeda namun memilki visi yang sama yaitu bekerja demi melanggengkan eksistensi negara," sambungnya.

Pada situasi kesulitan itu masyarakat mendengar hebohnya berita yang menyakitkan. Rupanya Gaji dan tunjangan DPR naik dengan fantastis yang diringi sikap arogansi sebagain anggota yang terlihat begitu menyebalkan.

Di lain pihak kenyataan ekonomi masyarakat yang sedang sulit dan makin sulit tersebut sebelumnya malah diingkari pemerintah.

Presiden Probowo lebih percaya pada data-data formal dari laporan BPS dan para menterinya yang melaporkan ekonomi kmakin baik dan pangan aman terkendali.

Namun semua abataraksi mengenai kondisi ekonomi yang konon katanya hasil dari reset itu bagi masyarakat awam pasti tidak habis pikir karena kontradiktif jika dibanding dengan apa yang mereka rasakan.

Menurut logika, lanjut dia, bagaimana mungkin angka kemiskinan bisa menurun jika faktanya daya beli masyarakat semakin melemah yang diperparah dengan banyaknya PHK serta kegiatan ekonomi yang gulung tikar.

Artinya bukankah antara narasi pemerintah dan fakta sudah terjadi adanya error menurut hukum kausalitas.

Data-data itu sangat tidak objektif, tidak equivalent dengan kenyataan. Para menteri dan BPS telah “meblanding” laporan dengan kepentingan menutupi “aib”-nya di hadapan presiden dan rakyatnya.

Dan kini sekalipun berasil dipercaya presiden namun mayoritas masyarakat tetap menggap bahwa data itu hasil rekayasa.

Bukankah mustahil jika ada yang mampu mengubah, membelokan algoritma kausalitas sang pencipta. Jika perbuatan baik dan buruk cepat atau lambat pasti berbuah sesuai dengan apa yang ditanam.

Maka begitu pun dengan angka kemiskinan yang mustahil dapat diubah dengan teori indikator apapun karena hakikatnya yang menentukan miskin atau tidaknya seseorang adalah fakta rasa bukan hitung-hitungan angka rekayasa.

Maka sebagai kesimpulanya terkait jawaban dari motif apa yang menorong adanya tuntutan “bubarkan DPR” sesungguhnya merupakan reaksi akumulatif dari rasa kejengkelan demonstran pada para pejabat negara.

"Meski secara kuantitas jumlahnya masih belum seberapa, tapi karena mereka adalah representasi dari mayoritas masyarakat yang sedang hidup menderita sangat potensial dapat mengundang gelombang demontrasi yang lebih besar jumlahnya," kata pria yang akrab disapa Kang Asluk ini.

:: Chaos Massa Demokrasi

Menurutnya, adapun jika menyoal sampai terjadi chaos saat aksi unjuk rasa, hal itu terbagi atas dua kondisi. Pertama diawali karena terprovokasi oleh tindakan aparat kepolisian yang menyebebkan terbunuhnya seorang ojol dengan cara sangat sadis.

Demonstran pun menjadi bereaksi sepontan dan emosional terhadap aparat kepolisian sebagai pengayom masyarakat tapi faktanya malah menjadi tameng para pejabat.

Namun pada kondisi kedua ketika chaos tidak berhenti antara demonstran vs aparat tapi malah meluas pada pembakaran, dan penjarahan di berbagai tempat.

Khusus terkait Kondisi ini sejak awal dirinya menaruh curiga tentang adanya kemungkinan pihak yang menunggangi, mereka menggunakan masa cair, para kriminalis dan peserta demontrasi sendiri.

Artinya sangat mungkin bukan lagi demonstran murni yang merencanakan. Dan sejauh ini dirinya belum tahu soal agenda para penunggang hingga tega melakukan kerusuhan dalam demontrasi buruh dan mahasiswa tersebut.

"Situasi di atas tentu akan menjadi suatu dilema bagi Presiden Prabowo. Namun demikian tetap sebagai kepala negara beliau dituntut melakukan sikap tegas demi mengentikan terjadinya situasi yang makin rumit," pungkasnya. (*)

Editor : Rizki Maulana