Gas Air Mata di Unisba-Unpas: Dedi Mulyadi Jelaskan Versi Polisi dan Mahasiswa

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, angkat bicara terkait insiden penembakan gas air mata yang terjadi di sekitar area Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) pada Senin (1/9/2025) malam.
Menurut Dedi, terdapat dua versi berbeda mengenai peristiwa ini, antara pihak kepolisian dan mahasiswa. Meski begitu, ia menekankan niat baik untuk menyelesaikan masalah melalui jalur dialog.
Saat ditanya soal dugaan kejanggalan, Dedi menyebut sudah berdialog dengan pihak Polda Jabar. Berdasarkan keterangan Kapolda, penembakan gas air mata merupakan respons atas aksi provokasi.
"Dari penjelasan Pak Kapolda, saat itu ada patroli gabungan TNI-Polri. Tiba-tiba ada pihak yang melempar bom molotov ke arah mereka," ujar Dedi saat ditemui usai berdialog dengan Rektor Unisba di Rektorat Unisba, Jalan Tamansari No 20, Kota Bandung, Selasa (2/9/2025).
"Maka, sebagai respons, terjadi tindakan pembubaran terhadap kerumunan agar jalan segera dibuka untuk kepentingan umum," lanjutnya.
Kapolda Jabar menegaskan bahwa tidak ada penembakan yang diarahkan langsung ke dalam kampus. Namun, Dedi menyadari versi mahasiswa berbeda.
“Dan menurut Pak Kapolda, tidak ada penembakan ke arah kampus. Tapi tentu saja, dari pihak mahasiswa penjelasannya berbeda. Maka saya sampaikan penjelasan dari kedua belah pihak," jelasnya.
Sebagai langkah mediasi, Dedi menyampaikan rencananya menggelar pertemuan dengan para rektor di Gedung Sate pada hari yang sama, untuk mencari solusi terbaik dan mengakomodasi seluruh tuntutan mahasiswa.
“Yang penting, saya tetap beritikad baik agar masalah ini segera selesai, seluruh tuntutan bisa terakomodasi, dan saya membuka ruang dialog. Bahkan, jam 13.00 siang ini saya juga akan bertemu dengan para Rektor di Gedung Sate,” katanya.
Dedi mengimbau agar gerakan mahasiswa tetap murni dan tidak disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Gerakan mahasiswa harus benar-benar murni, tidak boleh disusupi," tegasnya.
Selain itu, ia menyarankan agar demonstrasi dilakukan pada siang hari dan selesai paling lambat pukul 17.00–18.00 WIB, guna mencegah masuknya provokator yang biasanya mengenakan pakaian hitam dan penutup wajah.
"Ini yang harus dijaga bersama. Karena pada akhirnya, pikiran dan gagasan akademik mahasiswa harus bisa diterima, dan iklim demonstrasi juga tidak boleh menimbulkan kerusakan,” imbuhnya.
Dedi khawatir jika unjuk rasa berakhir ricuh, sorotan publik akan beralih pada kerusakan fisik, bukan substansi tuntutan mahasiswa.
“Karena kalau sudah rusak, justru yang akan disorot adalah kerusakan itu bukan substansi dari tuntutannya. Hal ini akan merugikan mahasiswa yang murni,” tandasnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa