get app
inews
Aa Text
Read Next : Tanah Negara Dikuasai Swasta, IAW: Cerminan Praktik Serakahnomics

Puluhan Triliun Beli Alat Canggih Intelijen, IAW: Mengapa Tak Bisa Cegah Provokasi Unjuk Rasa?

Selasa, 02 September 2025 | 20:30 WIB
header img
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. (Foto:Istimewa)

BANDUNG, iNewsBandungraya.id -Pengawasan digital berbiaya tinggi belum mampu mencegah kekacauan massal. Puluhan triliun rupiah yang telah dibelanjakan negara untuk teknologi intelijen mutakhir tampak sia-sia saat demonstrasi akhir Agustus lalu justru menelan korban jiwa dan kerusakan besar.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menggelontorkan dana jumbo untuk sistem pengawasan canggih seperti spyware, lawful intercept, dan digital command system. Namun ironisnya, ketika terjadi gelombang protes nasional pada akhir Agustus 2025, perangkat tersebut tidak menunjukkan kontribusi berarti dalam meredam eskalasi atau menyelamatkan warga.

Menurutnya, ini berbanding terbalik dengan situasi reformasi 1998, ketika aparat menghadapi krisis sosial tanpa bantuan teknologi mutakhir. Kala itu, informasi didapat hanya dari metode konvensional, intelijen lapangan, informan, dan observasi fisik. Hasilnya tragis lebih dari seribu nyawa melayang dan kerugian mencapai triliunan rupiah.

“Saat itu sekelompok orang menggunakan isu etnis sebagai kambing hitam untuk mengalihkan perhatian dari krisis ekonomi. Tanpa alat deteksi dini, narasi isu itu menyebar cepat dan memicu kekerasan massal,” ujar Iskandar Sitorus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/9/2025).

Kini, meski pemerintah memiliki piranti pengawasan berkelas premium, nyawa tetap melayang. Kerusuhan yang terjadi antara 25 hingga 31 Agustus 2025 menewaskan 6–8 orang, mengakibatkan ribuan penangkapan, dan menyebabkan puluhan gedung dibakar massa. Infrastruktur umum ikut jadi korban, mulai dari halte TransJakarta hingga fasilitas MRT dan jalan tol. Kerugian material ditaksir besar, meski belum dihitung secara resmi.

Masalahnya, menurut IAW, bukan sekadar soal ketersediaan teknologi, melainkan bagaimana alat-alat itu dibeli dan digunakan. Sejak 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pola pengadaan yang tidak efisien dan tak transparan, penggunaan istilah samar seperti ‘sistem khusus’ proyek tanpa tender terbuka, hingga ketidakjelasan hasil.

Beberapa contoh mencolok termasuk belanja spyware senilai Rp149 miliar pada 2018, serta anggaran Kejaksaan Agung sebesar Rp5,78 triliun pada 2024–2025 yang dipenuhi proses tender formalitas. Bahkan, catatan ketidakpatuhan dalam pengadaan mencapai Rp30,87 triliun pada 2017.

“Di saat negara kita sudah punya gawai kelas premium yakni spyware, lawful intercept, dan sistem intelijen digital, ironinya, saat massa pengunjuk rasa turun ke jalan, alat mahal itu justru tidak bisa hadir sebagai penjaga nyawa rakyat dari perilaku jahat provokator. Alat-alat itu nyaris tak terlihat fungsinya!,” tegas Iskandar.

Iskandar menyebut akar masalahnya terletak pada lemahnya tata kelola, banyak perangkat dibeli tanpa spesifikasi jelas, vendor dipilih tanpa kompetisi sehat, dan alat-alat tersebut tidak kompatibel atau tidak pernah digunakan sesuai peruntukannya. Banyak yang bahkan hanya disimpan sebagai simbol belaka.

Kondisi makin parah karena operator kerap tidak dibekali pelatihan memadai. Selain itu, banyak pejabat yang tidak memahami bagaimana sistem pengawasan digital seharusnya bekerja. Tanpa doktrin operasi, integrasi SOP, uji fungsi berkala, dan simulasi gabungan, perangkat berteknologi tinggi tidak akan pernah efektif.

Audit oleh negara pun disebut belum menyentuh aspek substansi. BPK cenderung hanya memeriksa dokumen administratif tanpa mengevaluasi sistem di lapangan atau kualitas server yang dibeli. Di sisi lain, klaim “rahasia negara” sering digunakan untuk menutup celah pengawasan publik.

“Kata 'Rahasia' pun berubah menjadi lubang hitam yang menelan uang negara, menelan kepercayaan, dan pada akhirnya menelan kesempatan menyelamatkan nyawa rakyat!" tegasnya.

IAW mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk memperbaiki sistem pengadaan alat intelijen secara menyeluruh. Lembaga ini menyebut sejumlah regulasi perlu diperkuat, termasuk UU BPK (15/2006), Perpres PBJ (16/2018), UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perlindungan Data Pribadi, hingga aturan teknis seperti Peraturan Jaksa Agung No.1/2025 dan Peraturan BSSN No.12/2024.

"Selama ini publik cuma mendengar jargon ‘digitalisasi keamanan’ atau ‘penguatan intelijen’. Faktanya? Uang rakyat habis triliunan, tapi korban unjuk rasa masih berjatuhan," ujarnya.

Solusi yang ditawarkan IAW mencakup pembentukan Satgas Audit Substantif yang beranggotakan auditor negara dan ahli forensik digital independen. Mereka bertugas mengevaluasi efektivitas perangkat secara langsung dan menyusun laporan yang bisa diakses publik dalam bentuk ringkasan.

Selain itu, pusat komando intelijen juga harus dibenahi agar mampu membaca situasi massa secara real-time, mendeteksi potensi provokasi, dan menerapkan metode de-eskalasi. Operator alat wajib tersertifikasi agar sistem benar-benar bisa digunakan saat krisis.

“Uang rakyat seharusnya membiayai keamanan dan demokrasi, bukan membeli alat yang kemudian jadi membungkam suara rakyat!,” kata Iskandar  (*)

Editor : Abdul Basir

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut