BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Publik akhir-akhir sempat diramaikan dengan polemik Gubernur Jawa barat, Ridwan Kamil dengan Muhammad Sabil (34), guru asal Cirebon. Percakapan keduanya yang menggunakan kata Sunda "Maneh" lantas jadi sorotan.
Permasalahan menjadi besar setelah Ridwan Kamil menandai komentar Sabil. Penggunaan mode pin tersebut membuat Sabil mendapat hujatan netizen hingga akhirnya dipecat dari sekolah tempatnya bekerja.
Alasan Ridwan Kamil menandai komentar Sabil lantaran dinilainya tidak sopan.
"Kita memang kehilangan figur pejabat publik yang memiliki etika moral yang sempurna, itu kehilangan," kata Analis Kebijakan Pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Wawan Gunawan saat dihubungi, belum lama ini.
Menurut Wagoen sapaannya, etika secara kedudukan berada di atas regulasi dan hukum. Ketika etika dijadikan pasal-pasal maka menjadi hukum.
Lanjut Wagoen, penggunaan kata maneh yang dipakai Sabil dan Ridwan Kamil bisa dilihat dari beberapa sisi. Pasalnya, komentar Sabil ditanggapi juga oleh Ridwan Kamil dengan menggunakan kata Maneh.
"Dari aspek budaya sosiologi, itu artinya Pak Ridwan Kamil sedang menyetarakan diri dengan dia, menggunakan bahasa dialek Cirebon, karena di Cirebon nyebut maneh, rakyat ke gubernur nyebut maneh, maka gubernur juga bisa nyebut maneh ke rakyat," ujar Wagoen.
Hanya saja, Wagoen mengingatkan ada etika di antara percakapan tersebut. Posisi yang satu sebagai guru dan satu lagi merupakan gubernur. Strata sosial keduanya berbeda.
Wagoen menilai, publik yang mendukung Ridwan Kamil kemungkinan besar ingin Sabil atau siapa pun santun terhadap pimpinan.
"Tetap saja pimpinan kita, kudu dihargaan (harus dihargai), kudu dihormatan (harus dihormati), mungkin publik menginginkannya begitu. Jadi ini problemnya ada di cara pandang yang berbeda," jelas Direktur Eksekutif Eksplorasi Dinamika dan Analisis Sosial (EDAS) itu.
Persepi yang berkembang di antara polemik ini di antaranya Sabil mengaku biasa saja menggunakan kata Maneh. Di sisi lain ada yang menyesalkan Ridwan Kamil malah membalasnya dengan hal serupa, menggunakaan kata tersebut.
"Mungkin gubernur ingin supaya setara dengan anjeunna (Sabil), jangan terlalu terlihat saya gubernur, mungkin dari sisi bahasa 'lamun maneh ka abi nyebut maneh, nya abi ge ka anjeun nyebut maneh (kalau kamu ke saya bilang maneh, ya saya juga ke kamu bilang maneh)'. Jadi setara. Itu bahasa egalitarianisme," papara Wagoen.
Wagoen menegaskan, persoalan ini tetap berada di cara pandang yang berbeda. Tafsir yang banyak berkembang akhirnya menuai pro dan kontra di media sosial.
Netizen itu, imbuh Wagoen, publik maya yang tidak memiliki KTP. Walaupun ada akun sebagai tanda pengenal, tetap saja hal itu bisa diganti-ganti.
"Artinya jangan terlalu direspon di media sosial mah. Orang mau ngomong apapun mangga (silahkan) saja. Kalau kita menganggap tidak baik, tinggalkan saja gampang. Tong (jangan) direspon," tandasnya.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait