BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Publik khususnya orang Sunda kembali membuka soal bagaimana sebetulnya bahasa Sunda zaman dulu. Hal ini setelah kata "Maneh" yang dipakai guru di Cirebon, Muhammad Sabil (34) dianggap tidak sopan dan kasar oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Analis Kebijakan Pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Wawan Gunawan mengatakan, secara historis tidak ada Undak Usuk Bahasa Sunda (UUBS). Undak usuk bahasa Sunda ada setelah Kerajaan Padjajaran dijajah oleh Mataram.
Maka dari sana diatur bagaimana tutur bahasa kepada yang lebih muda, lalu untuk umur yang sepantar dan kepada yang lebih tua. Bahkan untuk penggunaan ke laki-laki maupun perempuan ikut diatur.
"Sebenernya Sunda itu tidak ada undak usuk. Sok aja ke Baduy, bahasa Sunda yang asli di Baduy," kata Wawan saat dikonfirmasi, belum lama ini.
Menurut Wagoen sapaannya, di Sunda yang asli, yang dihargai adalah bukan makluknya melainkan yang bikin makhluknya. Ceritanya lantas berubah setelah dijajah oleh Mataram.
"Tidak ada sebetulnya (UUBS). Itu sisa-sisa feodalisme," jelasnya.
Wagoen menuturkan, Sunda menghargai orang bukan dengan bahasa melainkan oleh akhlak. Walaupun terlihat seperti kasar ketika berbicara dengan yang lebih tua, mereka tetap rengkuh secara akhlak.
Soal bahasa Sunda yang digunakan Sabil, kata Wagoen, Cirebon memiliki perbedaan karakter atau dialek. Bagi orang Cirebon, kata Maneh mungkin biasa saja.
"Apalagi Cirebon basisnya bukan bahasa Sunda, Jawa Reang," ungkapnya.
Kendati demikian, Wagoen sangat menyayangkan peristiwa tersebut sampai menjadi besar. Padahal persoalan tersebut, imbuh Wagoen, adalah hal remeh temeh.
"Di Bandung mah maneh teh kasar untuk ke bawahan, ka saluhureun (ke yang lebih tua) salira pangersa, tapi di Indramayu, Pantura, Cirebon, maneh itu sudah sopan," ucapnya.
"Tidak bisa langsung dijustifikasi tidak sopan, bukan tidak sopan. Kalau Anda mau mengukur seseorang diluar teritorial kita, jangan menggunakan standar teritorial kita," tandasnya.
Seperti diketahui dikutip dari Instagram @neohistoria.id, pada masa keemasan Kerajaan Sunda di abad ke-16, bahasa Sunda masih sangat egaliter. Hal itu nampak dari naskah-naskah yang ditulis pada zaman tersebut seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580). Bahkan Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda, memakai kata 'Aing' ketika bicara dengan ibunya.
Akan tetapi semua berubah ketika pendiri Mataram, Danang Sutawijaya menguasai Ciamis dan Dayeuhluhur pada 1595. Sesudahnya, penguasa Sumedang, Aria Suriadiwangsa mengakui kekuasaan (overlordship) Penguasa Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1620.
Akibatnya, bahasa Jawa Mataraman menjadi bahasa penghubung antara Penguasa Mataram dan Menak Sunda yang ikut mengadopsi budaya feodal ala Mataram termasuk cara berkomunikasi dengan kaum cacah kuricah (rakyat jelata).
Bahasa Sunda Priangan pun menjadi berkasta-kasta seperti bahasa lemes pisan (halus sekali), lemes (halus), sedeng (sedang), kasar (kasar), dan kasar pisan (kasar sekali). Bahasa yang halus digunakan kepada penguasa dan kerabat yang lebih tua.
Sistem yang dikenal sebagai Undak-Usuk Bahasa Sunda (UUBS) ini kemudian diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda yang mengajarkan lewat sekolah rakyat cara berbahasa Sunda 'secara benar'.
Uniknya, justru Kadipaten Cianjur yang para menak dan rakyatnya dikenal sebagai pengguna bahasa Sunda paling lemes (halus) di wilayah Priangan. Bahkan Cianjur dipercaya oleh Belanda sebagai tempat pembuangan pahlawan lokal seperti Pangeran Hidayatullah (Banjar), Sultan Ahmad Najmuddin II (Palembang) dan Datuk Badiuzzaman Surbakti (Sunggal).
Di sisi lain, masih ada penutur bahasa Sunda di Cirebon yang masih menggunakan bahasa Sunda lama, lalu penutur bahasa Sunda di Bogor, Karawang dan Banten masih bebas dari pengaruh Mataram dan tidak mengikuti kaidah UUBS. Daerah-daerah ini dikenal sebagai penutur "bahasa wewengkon" (bahasa wilayah) Sunda.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait