JAKARTA, iNews.id - Isu ancaman resesi seks di beberapa negara Asia, terutama di kawasan Asia Timur, baru-baru ini menjadi sorotan perhatian. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut diprediksi akan memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan populasi manusia.
Beberapa negara di Asia seperti Korea, Jepang, dan China dilaporkan menghadapi ancaman resesi seks. Apa itu resesi seks? Istilah "resesi seks" muncul karena adanya fenomena penurunan aktivitas seksual di beberapa negara tersebut.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan banyak orang, karena resesi seks dapat menyebabkan penurunan angka kelahiran. Dampaknya dapat dirasakan di berbagai sektor. Lalu, apa penyebab resesi seks?
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab penurunan frekuensi hubungan seksual atau resesi seks, seperti yang diambil dari berbagai sumber:
1. Ketidaksiapan finansial
Salah satu faktor penyebab adalah ketidaksiapan finansial. Berdasarkan hasil survei yang telah banyak dilakukan, masalah ketidaksiapan finansial, seperti biaya pernikahan dan beban ekonomi yang timbul akibat memiliki anak, menjadi salah satu alasan banyak perempuan di China enggan untuk menikah.
Terlebih lagi, selama pandemi Covid-19, China menerapkan kebijakan "Zero Covid" tanpa kompromi, yang mengakibatkan banyak warga kehilangan pendapatan.
2. Menurunnya tingkat pernikahan
Penurunan tingkat pernikahan juga menjadi salah satu faktor yang tidak hanya disebabkan oleh masalah finansial. Sebuah survei mengungkapkan bahwa sepertiga responden tidak percaya pada institusi pernikahan, dan jumlah orang yang mengaku tidak pernah jatuh cinta juga sebanyak itu.
Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa jumlah pasangan yang menikah di China mengalami penurunan sebesar 17,5 persen selama tiga kuartal pertama tahun tersebut.
Pada bulan Oktober, Liga Pemuda Komunis Tiongkok melaporkan bahwa hampir 50 persen perempuan muda di daerah perkotaan China tidak ingin menikah.
3. Kesibukan yang berlebihan
Salah satu faktor utama resesi seks adalah rutinitas yang padat. Kehidupan yang sibuk dengan pekerjaan dapat membuat seseorang tidak lagi memprioritaskan hubungan romantis.
Hal ini mengakibatkan mereka memilih untuk tetap sendiri dan fokus pada karier, sehingga kehidupan seks terabaikan.
4. Tuntutan pekerjaan yang tinggi
Faktor lain yang berpengaruh besar terhadap resesi seks di China adalah adanya budaya kerja 9-9-6, di mana pegawai diharapkan bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam, selama enam hari dalam seminggu.
Budaya kerja ini terutama terlihat di perusahaan teknologi besar. Para pekerja merasa terhalang untuk membentuk keluarga karena beban kerja yang berat.
Kelelahan dan stres akibat jam kerja yang panjang juga dapat menurunkan gairah seksual.
5. Hubungan seks yang menyakitkan
Studi yang dilakukan oleh Debby Herbenick, seorang peneliti seks di University of Indiana di Bloomington pada tahun 2012, menyebutkan bahwa penurunan aktivitas seksual dapat terjadi karena adanya masalah seksual yang menyebabkan rasa sakit.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa 30 persen perempuan merasakan rasa sakit saat melakukan hubungan seks vaginal, sedangkan 72 persen merasakan rasa sakit saat melakukan seks anal.
6. Menemukan kepuasan dengan cara lain
Menurut laporan dari The Atlantic, pada tahun 1992 hingga 1994, pria di Amerika Serikat lebih memilih masturbasi daripada berhubungan seks dengan lawan jenis.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa tingkat masturbasi pada pria dewasa meningkat dua kali lipat, mencapai 54 persen.
Sementara itu, pada perempuan, tingkat masturbasi meningkat lebih dari tiga kali lipat, mencapai 26 persen.
Fenomena ini juga terjadi di Jepang, di mana remaja melihat aktivitas seksual sebagai sesuatu yang melelahkan dan lebih memilih untuk pergi ke tempat-tempat seperti "onakura", tempat di mana pria membayar untuk melakukan masturbasi di hadapan karyawan perempuan.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait