BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Gedung sate, salah satu ikon arsitektur bersejarah yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda dan berdiri megah di tengah Kota Bandung.
Bangunan yang di bagian atapnya terdapat ornamen menyerupai tusuk sate dengan 6 bulatan yang melambangkan nominal uang yang digunakan ketika membangun Gedung Sate, yaitu 6 Juta gulden atau saat ini nilainya setara dengan 450 Miliar. Bulatan ini juga sekaligus merupakan lambang bunga lotus yang tengah kuncup.
Dengan luas 27.000 meter persegi, Gedung Sate sendiri mempunyai 3 lantai bangunan yang mana area di lantai paling atas terdapat menara dan atap menara yang dikelilingi dengan kaca, serta terdapat sejumlah kursi dan meja yang tertata dengan rapi.
“Ruangan ini dipakai Gubernur untuk menjamu para tamu VVIP, dan tidak sembarang orang bisa masuk karena diperlukan izin juga,” kata Koordinator Keamanan Dalam Gedung Sate, Yanto Rukmana, Jumat (2/2/2024).
Di tengah ruangan menara Gedung Sate tersebut terdapat mesin tua yang disebut pembunyian sirine yang ditempatkan pada mulut tangga yang tidak jadi dibangun, yang dulunya digunakan sebagai peringatan penanda bencana maupun pertempuran karena saat itu pada masa pendudukan Jepang, dan Gedung Sate digunakan sebagai pusat komando wilayah sekaligus sebagai kamp interniran darurat.
Dalam perjalanan waktu, sirine alarm Gedung Sate pertama kali diinstal pada tahun 1920-an. Karena pada pasalnya sirine ini difungsikan sebagai peringatan keadaan darurat. Dengan suara yang khas dan nyaring, konon bunyi sirine ini berhasil memberikan peringatan hingga mencapai radius 60 kilometer.
Suara sirine ini bisa di dengar ke berbagai daerah seperti Subang, Pangalengan, Sumedang, Cicalengka, Cianjur dan Purwakarta.
“Waktu zaman dahulu ini itu bisa didengar hingga Lembang, Soreang sampai Jatinangor. Dan untuk membunyikan sirine tersebut para petugas harus mengontrol katrolnya untuk mengoperasikan mesin," tambah Yanto.
Sirene Alarm di Gedung Sate.
Sirine alarm Gedung Sate memiliki peran strategis selama masa Perang Dunia II. Alarm ini merupakan peringatan dini terhadap serangan udara dan menjadi simbol ketegangan dan kewaspadaan bagi warga Bandung pada masa itu akan potensi bahaya yang dapat datang kapanpun.
Hingga setelah kemerdekaan Indonesia, sirine alarm Gedung Sate tetap memegang peran penting. Terutama pada tahun 1960-an pada periode konflik politik, sirine ini akan dibunyikan sebagai peringatan kepada masyarakat terkait dengan situasi politik jika tidak stabil.
Sirine inilah yang memunculkan aturan agar tidak membangun gedung yang lebih tinggi dari Gedung Sate di sekitar wilayah tersebut karena khawatir menghalangi suara sirine.
Namun Yanto menegaskan bahwa hingga saat ini sirine alarm di Gedung Sate masih digunakan hanya saja fungsinya dan kekuatan pancar suaranya telah dikurangi.
“Untuk sekarang sirine hanya akan dibunyikan ketika upacara hari kemerdekaan, saat hari pahlawan dan memperingati hari sapta taruna, dan bunyinya pun sudah dikurangi menjadi 2 kilometer saja dikarenakan sudah banyak bangunan tinggi juga suaranya pasti terhalang," tambahnya.
Dan hingga saat ini sirine alarm di Gedung Sate tetap dipertahankan untuk mempertahankan nilai sejarah dan kebudayaan, meskipun lebih banyak digunakan untuk acara-acara khusus atau simbol peringatan, sirine alarm Gedung Sate tetap menjadi suara yang merajut sejarah kota Bandung. (*)
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait