BANDUNG BARAT,iNews BandungRaya.id - Lokasi lahan di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, KBB, yang digugat ahli waris Syekh Abdurrahman bin Abdul Hasan dinilai tidak berdasar.
Pasalnya lahan seluas 10,041 hektare yang diklaim ahli waris telah dibangun hunian di kompleks perumahan Kota Baru Parahyangan Padalarang di Tatar Pitaloka tidak bisa dibuktikan.
Sehingga praktis klaim itu terbantahkan, apalagi Kota Baru Parahyangan memiliki bukti jika lahan itu milik mereka.
"Kalau kita berbicara data, lokasi lahannya bukan di Tatar Pitaloka. Saya pertanggungjawabkan apa yang diomongkan ini karena punya bukti," tegas Titus Tampubolon SH, dari kantor Hukum Dr. Roely Panggabean SH, MH selaku kuasa hukum PT. Bela Putera Intiland Kota Baru Parahyangan, Senin (13/5/2024) malam di Bumi Pancasona, Kota Baru.
Menurutnya, pihak ahli waris mengklaim tapi tidak memiliki bukti surat-surat. Sementara pihak Kota Baru punya bukti kuat jika lahan itu bukan punya ahli waris. Bahkan pada tahun 2008 telah keluar penetapan pengadilan yang diklaim penggugat tidak bisa dibuktikan.
Mengenai klaim dari pemohon terkait Putusan Pengadilan Nomor 305/1972/C/Bdg tanggal 25 April 2024, dia menyebutkan, dibeberapa media dibilang bahwa itu penetapan Mahkamah Agung (MA). Itu tidak ada karena merupakan penetapan Pengadilan Negeri yang terkait dengan putusan Tahun 1970.
"Gak ada putusan MA," ucapnya seraya menyayangkan adanya tuduhan bahwa kuasa hukum Kota Baru Parahyangan melakukan pemalsuan data.
Sementara juru bicara dari PT Bela Putra Intiland, Ani mengatakan tanah yang dibeli oleh pihaknya memang dulunya dimiliki oleh Syekh Abdurrahman. Dia ketika memiliki Istri sekitar lima orang dan dikarunia keturunan yang cukup banyak. Untuk yang saat ini mempermasalahkan tanah ini adalah turunan ke empat.
Kasus ini sebenarnya bermula di tahun 1920-an antara anak-anak Syekh Abdurrohman yang saling menjual tanah. Karena asetnya banyak, istri-istrinya dan saudaranya menjual tanah dan akhirnya mereka juga saling menggugat sesama ahli waris.
Ani menjelaskan bahwa tanah yang dibangun Tatar Pitaloka itu adalah milik istri ketiga. Namun digugat pula oleh anak-anak istri Abdulrohman yang lain itu.
Bahkan, kata Ani, Istri ke empat dan kelima serta keturunannya pun ikut menggugat. Salah satu ketetapan Mahkamah Agung atas sengketa tersebut, semua tanah leluhur itu dibagikan ke ahli waris yang berjumlah enam kelompok.
Tapi saat ketetapan itu diputuskan sebenarnya asetnya sudah tidak ada. Bahkan sejak tahun 1962 tanah itu sudah dimiliki oleh masyarakat, yang memiliki pembuktian kepemilikan, sehingga ketika akan dieksekusi sesuai keputusan Mahkamah Agung, tanahnya sudah tidak ada karena sudah dimiliki masyarakat bahkan sampai ratusan hektare dengan kondisi terpecah-pecah.
“Puluhan tahun kemudian kami hadir dan tidak pernah membeli langsung tanah dari ahli waris. Kami membeli tanah tersebut dari salah satu keturunan Syekh Abdurrahman dan digugat oleh keturunannya yang lain," kata dia. (*)
Editor : Rizki Maulana
Artikel Terkait