Algoritma Jiwa
Pada tahun kedua, Neuro Corpus mencatat peningkatan drastis dalam kapasitas jaringan saraf anak-anak. Otak mereka beradaptasi, memproduksi neurotransmitter khusus yang hanya bisa dipahami dengan model Neuromatika yang diciptakan oleh Maryam. Ini bukan sekadar permainan otak; ini adalah bukti bahwa bahasa, seperti spesies hidup, berevolusi. Mereka kini tidak lagi hanya menggerakkan tubuh atau menghasilkan suara tanpa makna, tetapi mengembangkan algoritma komunikasi yang mengintegrasikan gerakan, suara, dan sinyal elektromagnetik.
Anya bergerak dengan ketepatan seperti robot nanotek. Tangannya meluncur dengan pola yang diikuti anak-anak lain, membentuk ‘dialog’ yang membuat Neuro Corpus bersinar dengan denyutan data. Maryam menatap layar, matanya berbinar, wajahnya penuh kekaguman. “Bahasa ini melampaui kata. Ini adalah algoritma jiwa,” bisiknya.
Bayi-bayi itu tidak hanya menciptakan bahasa; mereka membentuk realitas mereka sendiri, jaringan komunikasi di mana makna mengalir tanpa batas, tidak terhalang oleh perantara simbolik.
Paradoks
Pada tahun ketiga, Maryam menyadari bahwa apa yang mereka temukan bukan hanya sebuah eksperimen akademis, tetapi suatu paradoks eksistensial. NeuroLyrika menjadi lebih dari sekadar cara untuk berbicara; itu menjadi cara untuk merasakan dan memanifestasikan emosi. Setiap gerakan, tatapan, dan getaran suara mengandung dimensi yang hanya bisa dipahami melalui spektrum pengalaman yang baru.
Neuro Corpus mulai memprediksi pola komunikasi mereka, tetapi sering kali gagal menangkap kompleksitas emosional dari Neuro Lyric. Ini adalah paradoks di mana teknologi tercanggih yang pernah diciptakan manusia tidak mampu menjelaskan manusia itu sendiri.
“Bahasa adalah cermin dari keberadaan,” ujar Maryam, “tetapi di sini, keberadaan menciptakan cermin baru.”
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait