JAKARTA, iNewBandungRaya.id - Pengabulan Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming oleh Mahkamah Agung (MA) tidak memuaskan para aktivis antikorupsi dan para pakar hukum. Sebab menurut mereka terdakwa Mardani Maming bukanlah koruptor.
Mereka berpendapat eksaminasi hukum yang dilakukan akademisi hukum seperti Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universtas Padjdjaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Diponegoro (Undip), sebenarnya sangat jelas memastikan Mardani H Maming bukan koruptor.
Selain itu, pernyataan dari Bambang Widjojanto, Deni Indrayana, dan Prof Todung Mulya Lubis yang sangat berintegritas dan tegak lurus melawan koruptor, semakin meyakinkan akan kesesatan proses hukum yang menimpa Mardani H Maming.
“Dengan dukungan semua orang tersebut, yang berdasarkan kajian dari bidangnya masing-masing, masih dianggap bersalah, ya tidak masuk akal,” kata Bambang, jurnalis senior.
Guru Besar UII Prof Hanafi yang turut melakukan eksaminasi dalam kasus ini, mengatakan, banyak sekali kekeliruan dari hakim, melalui hasil eksaminasi dari pakar hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
"Eksaminasi itu adalah bentuk keprihatinan akademisi atas merosotnya kinerja peradilan Indonesia, yang abai akan penerapan pasal, pengecekan alat bukti dan fakta yang ada," kata Prof Hanafi.
Prof Hanafi menyatakan, dari segi hukum administrasi, sejumlah pakar menilai, objek Pasal 93 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang yang digunakan hakim, salah sasaran dalam kasus ini.
Di mana dalam pasal subjek hukumnya adalah orang atau corporat yang mengalihkan IUP pada orang lain tanpa memberi tahu pemerintah daerah.
“Sedangkan Mardani Maming, adalah pejabat yang memberi izin. Bahkan izinnya sudah sesuai prosedur kajian dari instansi berwenang,” ujar Prof Hanafi.
Para pakar hukum administrai tersebut menilai penggunaan pasal itu tidak tepat sasaran, karena tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan Mardani H Maming di sana.
Sedangkan dari segi pakar hukum perdata, aliran uang yang masuk ke perusahaan Mardani H Maming menggunakan konsep bussines to bussines, murni keperdataan.
"Sehingga saat hakim mengaitkannya dengan bentuk ucapan terima kasih tidak ada alat bukti yang cukup," tuturnya.
Menurut Prof Hanafi, ahli hukum pidana menilai, penggunaan pasal 12 b, tidak ada kesepakatan antara pihak pemberi dan penerima suap, karena tidak bisa dibuktikan.
Jika, hakim mengaitkan hukum administrasi dengan pidana menggunakan pasal 93 tentang minerba, menurut Hanafi itu adalah kekeliruan, karena pasal tersebut bukan pasal pidana.
“jadi kalua Pasal 93 sanksinya hanya administrasi, maksimal pencabutan izin usaha. Bukan pidana. Meski ada unsur pidana dalam uu tersebut,” ucap Prof Hanafi.
Namun unsur pidana dalam UU tersebut tidak bisa ditarik ke ranah korupsi, sehingga sangat jelas kekeliruan dari hakim dalam kasus ini.
Dari pernyataan Prof Hanafi bisa dipatikan Mardani H Maming bukanlah seorang koruptor, tapi korban dari peradilan sesat di Indonesia.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait