Hayaa menyatakan, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 dibuat oleh Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat Zulkifli Hasan, telah mengubah status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi sehingga membuka pintu bagi perusahaan tambang masuk.
"Hingga kini, 40 persen dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di Pulau Kabaena telah beroperasi. Sementara sisanya menyusul," ujar Hayaa.
Dia menuturkan, aktivitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran. Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, seluas 3.374 hektare hutan, termasuk 24 hektare hutan lindung, telah habis digunduli. Perusahaan tambang menjadi salah satu kontributor terbesar deforestasi seluas 641 hektare.
"Salah satu perusahaan tambang nikel berinisial PT TMS tercatat telah melakukan deforestasi seluas 295 hektare dalam tiga tahun terakhir. Perusahaan TMS itu mengeruk hutan lindung yang menjadi sumber air utama bagi penduduk," tutur Hayaa.
Kerusakan ini, kata Hayaa, tidak hanya mempengaruhi daratan, tetapi juga lautan. Sampel air yang diambil dari sungai dan laut di empat titik Kabaena mengandung logam berat. Seperti nikel, kadmium, dan asam sulfat yang melebihi batas aman.
"Limbah tambang ini mengalir ke laut, membunuh terumbu karang dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajau. Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan dan anak-anak," ucap Hayaa.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait