BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat yang menghapus bantuan dana untuk pondok pesantren menuai gelombang kritik dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Pimpinan Wilayah (PW) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jabar.
Ketua PW Pergunu Jabar, Saepuloh mengakui bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting untuk kemajuan ekonomi dan konektivitas daerah.
Namun, pihaknya mengingatkan agar pembangunan fisik tersebut tidak dilakukan dengan mengorbankan sektor pendidikan, terutama bantuan bagi banyak pesantren.
"Pembangunan infrastruktur memang penting untuk mendongkrak ekonomi dan konektivitas daerah, namun jangan sampai dilakukan dengan memangkas anggaran pendidikan, apalagi bantuan untuk pondok pesantren," ucap Saepuloh dalam keterangannya, Kamis (24/4/2025).
Saepuloh menekankan bahwa pesantren memiliki peran yang jauh lebih luas dari sekadar lembaga pendidikan formal. Menurutnya, pesantren adalah pusat pemberdayaan umat yang keberadaannya sangat vital bagi masyarakat.
Penghapusan bantuan dikhawatirkan akan berdampak signifikan terhadap operasional pesantren kecil, mengganggu proses pembelajaran dan pengabdian mereka kepada masyarakat.
"Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi juga pusat pemberdayaan umat. Dengan menghapus bantuan, banyak pesantren kecil yang akan terdampak operasionalnya. Ini tentu akan mengganggu proses pembelajaran dan pengabdian mereka kepada masyarakat," katanya.
Pihaknya pun mendesak Pemprov Jabar untuk mencari solusi anggaran yang lebih berimbang, di mana efisiensi tetap dapat dilakukan tanpa harus menghilangkan peran strategis pesantren.
Saepuloh mengingatkan Pemprov Jabar akan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
"Perlu diingat bahwa Jawa Barat memiliki Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren, yang seharusnya menjadi komitmen kuat dalam mendukung keberlanjutan pendidikan pesantren," ungkapnya.
Saepuloh juga menyoroti pentingnya pendidikan karakter yang selama ini menjadi salah satu keunggulan pesantren. Dia berpendapat bahwa mengesampingkan pendidikan karakter demi pembangunan fisik akan membawa dampak yang jauh lebih besar bagi masyarakat.
"Jika pendidikan karakter dikesampingkan, maka dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan kerusakan jalan atau jembatan. Masyarakat butuh pembangunan fisik, tapi juga pembangunan moral," imbuhnya.
Saepuloh juga memaparkan kontribusi nyata pesantren dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dia menyebut, banyak pesantren di Jabar kini mengembangkan pendidikan vokasional yang membekali santri dengan keterampilan kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar.
Dia mencontohkan Pesantren Al-Ittifaq di Bandung dan Pesantren Ekonomi Darul Tauhid di Cimahi yang berhasil mengembangkan unit usaha produktif dan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar.
"Pesantren telah terbukti berkontribusi besar terhadap peningkatan sumber daya manusia. Banyak pesantren di Jawa Barat kini mengembangkan pendidikan vokasional seperti pelatihan pertanian organik, otomotif, tata busana, hingga teknologi informasi," jelasnya.
"Santri tidak hanya lulus dengan kemampuan keagamaan, tetapi juga dengan skill kerja yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja," lanjutnya.
Dari sisi sosial, lanjut Saepuloh, pesantren memiliki peran penting dalam menjaga kohesi masyarakat melalui berbagai kegiatan keagamaan dan sosial. Di tengah keberagaman, pesantren menjadi penjaga kerukunan dan nilai toleransi berbasis kearifan lokal.
Saepuloh juga menyoroti Pasal 14 Perda Nomor 1 Tahun 2021 yang secara tegas mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam memberikan fasilitasi kepada pesantren, termasuk bantuan operasional, sarana prasarana, dan pengembangan sumber daya manusia.
Pihaknya menyayangkan jika kebijakan penghapusan bantuan ini justru bertentangan dengan regulasi yang telah ada.
"Perda Nomor 1 Tahun 2021 secara tegas mengatur bahwa pemerintah daerah wajib memberikan fasilitasi kepada pesantren, termasuk dalam bentuk bantuan operasional, sarana dan prasarana pendidikan, serta pengembangan sumber daya manusia," terangnya.
"Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 yang memuat berbagai bentuk fasilitasi pemerintah terhadap keberlangsungan dan pengembangan pesantren," tambahnya.
Saepuloh menekankan pentingnya prinsip partisipasi dan dialog dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah daerah, terutama yang berdampak luas pada masyarakat.
Dia berharap pemerintah dapat melibatkan secara aktif stakeholder terkait, termasuk pesantren, tokoh pendidikan, dan masyarakat sipil, untuk menghasilkan kebijakan yang lebih adil, akuntabel, dan tidak menimbulkan kegaduhan sosial.
"Seharusnya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, terutama yang berdampak luas pada masyarakat, harus didasarkan pada prinsip partisipasi dan dialog," katanya.
"Pelibatan aktif dari stakeholder terkait, termasuk pesantren, tokoh pendidikan, dan masyarakat sipil, akan menghasilkan kebijakan yang lebih adil, akuntabel, dan tidak menimbulkan kegaduhan sosial," tandasnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait