BANDUNG, iNews.BandungRaya.id - Kasus Pagar Laut yang tengah menyita perhatian publik ini mengungkapkan adanya tarik-menarik kepentingan antar lembaga penegak hukum yang berujung pada penghambatan penyelesaian kasus korupsi.
Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti polemik ini, yang melibatkan Kejaksaan Agung (Kejagung), Bareskrim Polri, dan dugaan adanya intervensi pihak-pihak tertentu dalam penanganan kasus reklamasi ilegal di Tangerang ini.
Menurut Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, kasus ini bermula saat Kejagung mengembalikan berkas perkara kepada Bareskrim Polri sebanyak dua kali, dengan arahan agar kasus tersebut dijerat dengan pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Meskipun demikian, Bareskrim menolak untuk mengikuti petunjuk Kejaksaan, bahkan mencap Kejaksaan sebagai pihak yang inkonsisten, mengingat ada penghentian kasus serupa di Bekasi. Penolakan tersebut membuat para tersangka mendapatkan penangguhan penahanan.
Iskandar menegaskan sesuai Pasal 110 ayat (3) KUHAP, jaksa berhak memberikan petunjuk kepada penyidik dalam melengkapi berkas perkara. Petunjuk jaksa ini bukan sekadar opini pribadi, melainkan bagian dari koordinasi formal untuk memastikan perkara layak dilimpahkan ke penuntutan.
"Jika petunjuk jaksa diabaikan, berkas perkara bisa ditolak oleh pengadilan atau dipaksa dilimpahkan ke penuntutan melalui atasan penyidik," ujar Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/4/2025).
Ia juga menambahkan bahwa alasan Bareskrim yang menyatakan belum menemukan kerugian negara aktual dalam kasus ini, tidak sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 3 UU Tipikor. Dalam hukum, potensi kerugian negara sudah cukup sebagai dasar untuk melakukan penyidikan.
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 malah menyebutkan bahwa potensi kerugian negara sah digunakan sebagai dasar penyidikan kasus Tipikor," jelasnya.
Iskandar menyoroti beberapa indikasi kerugian negara yang muncul dalam kasus Pagar Laut, seperti reklamasi ilegal yang menyebabkan hilangnya PNBP, retribusi, dan pajak pesisir, serta penerbitan sertifikat tanah ilegal di laut yang melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku. Tak hanya itu, kerusakan ekosistem yang merugikan ekonomi nelayan juga turut menjadi kerugian negara ekologis.
"Audit BPK dalam LHP 2015, 2017, dan 2020 mencatat adanya pola serupa di wilayah lain seperti Tarumajaya dan Teluk Jakarta," tambahnya.
Iskandar juga mengkritik ketidakkonsistenan Polri dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Ia menilai alasan Bareskrim yang menggunakan kasus di Bekasi sebagai acuan untuk menghentikan penyidikan di Pagar Laut sebagai argumen yang lemah. Iskandar mengungkapkan bahwa setiap kasus memiliki perbedaan unsur hukum dan audit yang harus dipertimbangkan dengan cermat.
Lebih ironis lagi, Polri dikritik atas keberaniannya dalam menyidik kasus pabrik gula di Jawa Timur, namun mengabaikan masalah besar dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) Tebu yang melibatkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
"Pola selektif ini menunjukkan indikasi adanya intervensi politik atau bisnis dalam proses penyidikan yang dilakukan Polri," ungkapnya.
Terkait dengan status empat tersangka dalam kasus Pagar Laut yang telah bebas setelah masa penahanannya habis, Iskandar menyoroti adanya kecurigaan terhadap aktor intelektual di balik proyek reklamasi tersebut. Proyek yang menghabiskan dana hingga Rp48 miliar untuk pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer ini tidak mungkin hanya didanai oleh desa. Iskandar menduga kuat adanya keterlibatan pengembang besar serta pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian ATR/BPN.
Rekomendasi IAW
Menanggapi hal ini, IAW mengajukan sejumlah rekomendasi. Pertama, dilakukannya audit forensik dan penelusuran dana proyek Rp48 miliar, termasuk kaitannya dengan proyek reklamasi PIK. Kedua, IAW menyarankan penggunaan teknologi blockchain untuk melacak aliran dana yang mencurigakan. Ketiga, IAW mendorong KPK untuk mengambil alih penyidikan, mengingat adanya dugaan keterlibatan pejabat tinggi.
Rekomendasi lainnya adalah melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika Bareskrim tetap menolak untuk menggunakan UU Tipikor dalam penanganan kasus ini. IAW juga menyoroti pentingnya untuk mengkritisi inkonsistensi Polri dalam menangani kasus Pagar Laut dibandingkan dengan proyek-proyek lain yang melibatkan kerugian negara, serta menuntut ekspos kerugian ekologis yang diabaikan dalam proses hukum.
Iskandar menegaskan bahwa sikap Bareskrim yang mengabaikan petunjuk Jaksa dan temuan BPK menunjukkan adanya pelecehan terhadap sistem keuangan negara dan integritas hukum. Ia juga mengingatkan bahwa jika kasus ini dibiarkan begitu saja, maka akan menimbulkan preseden buruk bagi reklamasi ilegal lainnya yang ada di kawasan pesisir Indonesia.
"Kasus ini bukan sekadar sengketa lembaga, tapi juga ujian bagi integritas penegakan hukum di Indonesia," pungkas Iskandar. (*)
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait