DI PADANG pasir Persia kuno, kisah raja-raja Darius dan Xerxes pernah memahat jejak imperium. Tapi di abad ke-21, Iran berdiri dikelilingi drone siluman, satelit mata-mata, dan jaringan aliansi yang nyaris menutup seluruh pintu negosiasi damai. Lawannya tak hanya pasukan Israel, tetapi juga opini Barat, sanksi ekonomi, dan tekanan moral global. Maka, pertanyaan yang paling mendesak bagi Teheran hari ini, bagaimana memenangkan konflik tanpa membuat rakyat sendiri tenggelam dalam reruntuhan bom dan embargo?
Sun Tzu, seorang jenderal dari Tiongkok 2500 tahun lalu, menulis, “Menanglah tanpa berperang. Jika kau harus bertempur, pastikan kemenangan telah ditetapkan sebelum panah pertama dilepaskan.” Kutipan inilah yang pelan-pelan semoga merasuk ke benak pemikir strategi Iran. Jika rudal tak cukup, maka akal budi yang dilumuri kerahasiaan harus dihidupkan.
Konstelasi Baru di Timur Tengah
Hari ini, Israel punya Iron Dome yang melegenda. Punya F-35. Punya satelit yang bisa membaca pelat nomor truk logistik di pinggiran Shiraz. Tapi sejarah panjang Persia mengajarkan, tak ada tembok yang abadi. Alexander pernah masuk, Mongol pernah masuk, dan setiap penyerbu pulang dengan biaya yang menghancurkan perbendaharaan. Sun Tzu berkata, “Siapa yang panjang perbekalannya, akan cepat letih.” Maka, dalam rencana Iran, perang tak perlu dengan parade tank besar. Cukup dengan melelahkan logistik Israel, roket murah, serangan kecil, dan kebingungan opini publik.
Peta Kelebihan dan Kelemahan. Iran punya populasi muda yang sanggup berkorban (moral Tao). Dengan jaringan proxy (Hizbullah, Houthi) sebagai tentakel medan tempur. Peta pegunungan medan alami yang melindungi bunker rahasia.
Tapi Iran lemah di Ekonomi rapuh. Teknologi drone masih kalah canggih.
Bergantung pada persepsi dunia Islam yang bisa dibelah isu Sunni–Syiah. Maka, strategi Sun Tzu adalah menutup lubang kelemahan dan hanya menampakkan kekuatan di tempat yang tak terduga.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait