“Hasil investigasi kami dan data LHP BPK menyebutkan hanya 18 persen dari lahan seluas 1.190 hektar itu yang masih tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN). Sisanya kini jadi gedung apartemen, mal, kantor, dan proyek komersial tanpa catatan pelepasan hak dari negara,” jelasnya.
Akibat praktik mafia tanah ini, negara diperkirakan merugi hingga Rp17.450 triliun, berdasarkan estimasi harga pasar tahun 2025 dan potensi sewa yang hilang. Meskipun sebagian besar dokumen penting masih tersimpan di Gedung Arsip DKI dan Perpustakaan Bank DKI, hingga kini belum ada audit forensik menyeluruh terhadap proses pembebasan lahan dari era awal 1960-an tersebut.
“Mengabaikan hukum era 1959–1963 sama dengan mengkhianati konstitusi. Tanah milik negara tidak boleh berubah jadi komoditas diam-diam,” tegas Iskandar.
IAW mendorong pemerintah untuk segera mengambil tindakan. Mereka mengusulkan Presiden Prabowo mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) guna memulai audit nasional terhadap seluruh aset strategis negara. Selain itu, IAW menyerukan pembekuan seluruh sertifikat HGB di kawasan yang terindikasi bermasalah, serta pembentukan Satgas Penindakan Korupsi Aset Negara dengan melibatkan KPK, BPK, Kejaksaan Agung, Arsip Nasional, dan OJK.
Lebih lanjut, IAW meminta agar Yayasan Gelanggang Olahraga Bung Karno (YGORBK) dikembalikan pada kedudukan awalnya sesuai Keppres No. 318 Tahun 1962, yaitu langsung berada di bawah pengawasan Presiden, bukan sebagai badan usaha komersial.
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait