BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Menulis bukan sekadar hobi bagi Niska Alfina Saniya, mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bagi perempuan kelahiran Bandung, 26 Desember 2001 ini, menulis adalah cara bertahan dalam diam.
Setelah proses panjang selama hampir satu dekade, ia akhirnya resmi meluncurkan buku prosa liris pertamanya berjudul Kita Sudah Tidak di Sana.
Peluncuran buku digelar di Kedai Kopi Batoe, Jalan Raya Banjaran, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung pada Rabu (16/7/2025).
Dalam acara tersebut, Niska membagikan cerita di balik lahirnya buku yang berisi serpihan perasaan dan perjalanan batin sejak tahun 2016.
“Awalnya naskah ini tidak dimaksudkan menjadi buku. Hanya ungkapan-ungkapan perasaan saat sedang merasa sedih dan tidak ada teman yang mendengarkan,” ujar Niska.
Proses Menulis yang Penuh Luka dan Ketulusan
Proses penulisan Kita Sudah Tidak di Sana dimulai sejak Niska masih duduk di bangku sekolah. Tulisan-tulisan itu merupakan hasil perenungan, kesedihan, dan ketidakberdayaan yang ia tuangkan secara diam-diam. Keinginan untuk menjadikannya sebagai buku baru muncul pada tahun 2022.
“Butuh waktu sembilan tahun untuk benar-benar menuntaskan buku ini,” jelas Niska.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam proses penyusunan bukan sekadar teknis menulis, melainkan proses mengingat luka lama yang dulu menjadi bahan bakar tulisannya.
“Saya ingin memperbaiki tulisan saya yang dulu, tapi juga mempertahankan rasa yang saya tulis saat itu. Dan untuk itu, saya harus benar-benar mengingat ulang apa yang saya rasakan. Itu sangat sulit.”
Isi Buku dan Gaya Bahasa yang Jujur
Buku Kita Sudah Tidak di Sana memuat prosa liris yang jujur, personal, dan kadang menyakitkan. Melalui untaian bahasa yang sederhana namun mengena, Niska mengajak pembaca menelusuri lorong-lorong kesepian, kehilangan, dan harapan yang nyaris padam.
Kecintaannya pada dunia tulis-menulis telah tumbuh sejak kecil. Sejak kelas 3 SD, ia terbiasa menulis diary, terinspirasi dari kegemarannya membaca buku.
Terinspirasi Sapardi dan Joko Pinurbo
Dalam gaya menulis, Niska mengaku sangat dipengaruhi oleh dua penyair besar Indonesia: Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.
“Untaian diksi mereka sering kali sederhana, tapi maknanya sangat dalam. Itu yang membuat saya jatuh cinta pada cara mereka menulis,” ungkapnya.
Optimis di Tengah Digitalisasi: Buku Fisik Masih Hidup
Di era digital yang serba cepat, Niska tetap optimis buku fisik tidak kehilangan tempat. Ia percaya, komunitas pembaca seperti bookstagram dan pecinta sastra masih memberikan ruang hangat untuk buku cetak.
“Buku fisik mungkin mulai tenggelam, tapi tidak benar-benar hilang. Masih banyak yang setia membaca. Tinggal bagaimana kita memperkenalkannya kembali dengan cara yang relevan.”
Sudah Tersedia Online, Segera Hadir di Toko Buku
Buku Kita Sudah Tidak di Sana kini sudah bisa dipesan secara daring melalui tautan s.id/bukukstd, dan akan segera hadir di berbagai toko buku besar seperti Gramedia. Niska juga sedang menyiapkan sekuel lanjutan dari buku pertamanya.
Pesan untuk Generasi Muda: “Mulailah Sekarang!”
Di akhir perbincangan, Niska menyampaikan pesan menyentuh bagi generasi muda yang tengah berjuang meraih impian:
“Mulailah langkah pertamamu sekarang, karena waktu tidak mengenal frasa ‘tunggu sebentar’. Kalau tidak sekarang, maka bisa jadi tidak selamanya. Kamu harus berani melangkah. Setelahnya, semesta akan menilaimu sudah siap, lalu membantumu mewujudkannya,” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait