"Preseden hukumnya sudah ada. Mahkamah Agung pernah menegaskan dalam putusan No. 45 PK/PID.SUS/2023 bahwa perencanaan pengadaan sebelum jabatan resmi bisa dikategorikan sebagai konspirasi korupsi," jelasnya.
Iskandar juga membandingkan fenomena ini dengan kasus-kasus serupa di luar negeri. Google, misalnya, pernah dikenai denda sebesar USD 170 juta di AS karena mengumpulkan data siswa melalui Chromebook. Spanyol juga menjatuhkan sanksi antimonopoli €15 juta atas proyek EDU 365. Nigeria dan Korea Selatan pun mengalami kerugian akibat pengadaan digital yang tak sesuai kebutuhan lokal.
"Pelajaran buat Indonesia? Perancang, pelaku, dan penikmat dari kejahatan serapi itu harus sesegera diberangus semaksimal mungkin!" tegasnya.
Untuk itu, IAW mendesak tindakan korektif segera dilakukan. Beberapa langkah yang diusulkan antara lain audit forensik oleh BPK dan PPATK sejak 2019, penyelidikan oleh Kejaksaan dan KPK terhadap proses pra-jabatan, serta revisi UU Tipikor agar memuat pasal tentang korupsi dalam tahap perencanaan. IAW juga mendorong gugatan perdata terhadap perusahaan global dan mitra lokal yang terlibat.
"Jika dibiarkan, kita akan terus jadi negara yang dijajah teknologi dengan restu kekuasaan. Ketika rencana dibuat sebelum jabatan dimulai, saat itulah negara kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri. Kami yakin negara melalui aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dan KPK bisa lebih tegas lagi menyidik perilaku jahat tersebut," tegas Iskandar.
Ia menutup dengan mengingatkan bahwa transformasi digital dalam dunia pendidikan seharusnya berpihak pada siswa, bukan menjadikan mereka objek eksperimen kebijakan.
"Digitalisasi dan modernisasi pendidikan tidak boleh menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan. Apalagi jika kebijakan tersebut lahir dari ruang-ruang obrolan informal, penuh konflik kepentingan, dan hanya menguntungkan korporasi global,” pungkasnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait