“Saya tinggalkan semua. Saya naik motor, ngelesin Bahasa Inggris, kerja apa aja. Dikasih mobil tapi nggak mampu beli bensin,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Salah satu pengalaman yang paling membekas baginya terjadi ketika ia harus membeli ban bekas seharga Rp50.000 hanya agar bisa menghadiri wawancara kerja di Jakarta.
“Bapaknya kayaknya udah meninggal dan sekarang bannya udah nggak ada. Cuman saya masih ingat kayaknya diterusin anaknya. Jadi tiap ganti ban baru, saya bilang ke supir saya, kirimkan ke sana. Sampe orangnya kaget, ada yang ngirim ban,” kenangnya, dengan nada penuh haru.
Baginya, kenangan semacam itu bukan sekadar nostalgia, melainkan ungkapan terima kasih dan penghormatan pada mereka yang telah membantunya di masa sulit.
“Kita sudah di atas, kasarnya sudah menuju atas, sudah berkecukupan, kita masih ingat doa-doanya orang yang berkekurangan itu bagaimana. Itu kita selalu ingat. Kita bisa di atas, kita pernah di bawah,” ujarnya.
Hartono yakin bahwa keberhasilan bukan hanya milik mereka yang cerdas atau beruntung, tetapi juga mereka yang tetap membumi dan tidak melupakan masa lalu.
“Sudah S1, bukan berarti berhasil. Itu baru start di angka 5. Karena ternyata saya pikir saya udah lulus sekolah, itu saya udah punya segalanya, saya pinter segala. Ternyata saya bodohnya luar biasa.”
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait