Awal Kasus: Penawaran Kapal Tua hingga Perubahan Kebijakan
IAW memaparkan konstruksi kasus sejak penawaran 53 kapal tua oleh PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2014. Kapal buatan 1959–1966 itu masuk kategori non-performing vessels dan ASDP menolak karena dinilai melanggar prinsip kehati-hatian sesuai UU BUMN.
Namun, setelah terjadi pergantian manajemen pada 2017–2018, proses pembahasan akuisisi kembali dibuka. Sejumlah pertemuan informal digelar di Hotel Shangri-La, kantor PT JN, hingga rumah pribadi Adjie, sosok yang dianggap berperan layaknya shadow director meski bukan pejabat struktural.
Ihwal pengambilan keputusan juga dinilai janggal. Pada 19 Februari 2018 ASDP menerbitkan KD 35/2018 untuk memperketat SOP. Tetapi setahun kemudian muncul KD 86/2019 yang justru menghapus syarat penting seperti feasibility study, evaluasi keuangan, hingga persetujuan komisaris. IAW menyebutnya sebagai policy engineering.
Kontrak, Valuasi, dan Aliran Dana
Kontrak kerja sama usaha (KSU) ditandatangani 23 Agustus 2019 meski belum disetujui komisaris. Lalu pada 2021, valuasi kapal melonjak menjadi Rp2,092 triliun setelah pertemuan informal, meski laporan teknis BKI menyatakan sebagian besar kapal tidak layak.
Skema ini dinilai menyerupai pola fraud di kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda, dan Krakatau Steel.
Pada 2022, aliran dana sebesar Rp1,223 triliun tercatat mengalir melalui tiga perusahaan yang terkait dengan Adjie dan Andi Mashuri—mekanisme yang disebut sangat mirip pola layering TPPU.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait
