BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA - Oral seks adalah salah satu gaya dalam berhubungan intim. Oral seks dinilai dapat menambah gairah dan juga agar hubungan intim tidak bosan.
Oral seks ialah merangsang pasangan agar bisa mengalami orgasme dengan menggunakan mulut pada kelamin pasangan. Bisa dilakukan seorang suami pada istri, ataupun sebaliknya.
Namun, bagi yang beragam muslim mungin akan bertanya-tanya, apa hukum oral seks menurut Islam? Apakah diperbolehkan atau tidak?
Ada beberapa pendapat tentang hukum oral seks untuk suami istri menurut Islam. Pendapat yang mu’tabar (diakui) di antara para ulama adalah boleh atau mubah, sebagian lagi mengharamkan.
Ulama yang mengharamkan oral seks di antaranya Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, dan Syaikh Masyhur Al-Salman. Mereka mengharamkan dengan dalih karena dianggap menyerupai hewan. Mulut adalah tempat yang bersih dan mulia seperti tempat makan, tempat berzikir, dan berkata-kata yang baik.
Sedangkan ulama yang berpendapat boleh/mubah menyandarkan dengan beberapa alasan.
Pertama, istri dimisalkan tempat sebagai bercocok tanam, suami bebas menikmati istri, asalkan bukan di duburnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” ( QS. Al-Baqarah: 223 ).
Kedua, hadis Nabi SAW yang bersifat umum. Dalam hadis tersebut menyatakan boleh menikmati istri dengan cara apapun, kecuali jimak pada saat haid. Rasulullah SAW bersabda:
اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu kecuali menjimak kemaluan (yang lagi haid)” (HR Muslim no. 302).
Hal ini bisa saja menunjukkan bolehnya oral seks ketika istri sedang haid.
Ketiga, bersandar pada pendapat Imam Asy Syafi’i yang mengatakan: “Kami tidak mewajibkan mandi janabah (mandi wajib) kecuali apabila ia memasukkan zakarnya ke kemaluan istrinya atau duburnya. Adapun mulut (istrinya) dan bagian tubuh istrinya yang lainnya, maka tidak mewajibkan mandi janabah, jika tidak mengeluarkan air mani.” (Al-Umm, 2: 81)
Keempat, sebagian ulama membolehkan mencium kemaluan istri, yaitu menghisap biji kemaluan wanita. Demikian juga dengan istri, maka boleh sebaliknya. Seorang ulama mazhab Syafi’i, yaitu Al-Maliaariy Al-Fananiy Rahimahullah berkata: “Boleh bagi seorang suami menikmati istrinya dengan berbagai cara kecuali lingkaran duburnya, bahkan (boleh menikmati istrinya) meskipun mengisap kiltorisnya” (Fathul Mu’in bi Syarh Qurratil ‘Ain, hal. 482).
Kelima, sebagian ulama juga membolehkan menghisap dan mencium apabila sebelum mulai jimak, karena belum keluar madzi dan belum bercampur dengan cairan farji. Boleh dilakukan dengan cara membersihkan dahulu dari madzi yang keluar. Dalam fatwa Asy-Syabakah Islamiyyah disebutkan bahwa bolehnya mencium farji sebelum jimak dan makruh hukumnya setelah jimak. “Ulama Hanabilah membolehkan mencium farji istri sebelum jimak dan makruh hukumnya setelah jimak.” (Fatwa no. 50708).
Kecuali yang Dilarang oleh Syara’
Jadi, seorang suami boleh melakukan aktivitas seks dengan istrinya kapan saja dan dengan gaya apa saja, kecuali yang dilarang oleh syara’, seperti menyetubuhi isteri melalui anus.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِين
Artinya, “Isteri-isterimu adalah ladangmu, maka datangilah ladangmu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman,” (QS Al-Baqarah [2]: 223).
Masalah agama yang berkaitan dengan aktivitas seksual tidak perlu ditutup-tutupi. Untuk kepentingan hukum, Rasulullah SAW tidak segan-segan menerangkannya seperti hadits berikut ini.
إنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِ مِنْ الْحَقِّ لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ (رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ)
Artinya, “Sungguh Allah tidak malu dalam hal kebenaran. Jangan kalian mendatangi isteri-isteri melalui anus mereka,” (HR Imam Syafi’i).
Atas dasar ini kemudian dikatakan bahwa suami boleh menikmati semua kenikmatan dengan isteri kecuali lingkaran di sekitar anusnya atau melakukan hubungan seks melalui dubur. “Diperbolehkan bagi seorang suami untuk bersenang-senang dengan isteri dengan semua model kesenangan (melakukan semua jenis aktivitas seksual) kecuali lingkaran di sekitar anusnya, walaupun dengan menghisap klitorisnya,” (Lihat Zainudin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Jakarta-Dar al-Kutub al-Islamiyyah, cet ke-1, 1431 H/2010 M, halaman 217).
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Asbagh, salah seorang ulama dari kalangan madzhab Maliki yang menyatakan bahwa suami boleh menjilati kemaluan isterinya. Hal ini sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi dalam tafsirnya.
“Ashbagh salah satu ulama dari kalangan kami (Madzhab Maliki) telah berpendapat, boleh bagi seorang suami untuk menjilati kemaluan isteri dengan lidahnya,” (Lihat al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, Kairo-Darul Hadits, 1431 H/2010 M, juz XII, halaman 512). Namun menurut Qadli Abu Ya’la salah seorang ulama garda terdepan di kalangan madzhab Hanbali berpandangan bahwa aktivitas tersebut sebaiknya dilakukan sebelum melakukan hubungan badan (jima’).
Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Kasyful Mukhdirat war Riyadlul Muzhhirat li Syarhi Akhsaril Mukhtasharat yang ditulis oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ba’ali. “Al-Qadli Abu Ya’la al-Kabir berkata, boleh mencium vagina isteri sebelum melakukan hubungan badan dan dimakruhkan setelahnya,” (Lihat Abdurrahman bin Abdullah al-Ba’li al-Hanbali, Kasyful Mukhdirat, Bairut-Dar al-Basya`ir al-Islamiyyah, 1423 H/2002 M, juz II, halaman 623).
Rawan dengan Najis
Syaikh Salman al-Audah menambahkan atas dasar inilah sebagian ulama memperbolehkan kedua pasangan melalukan fantasi saat bersenggama, tak terkecuali (maaf, oral seks). Salah satu di antara dalil yang dijadikan rujukan ialah surah al-Baqarah ayat 223.
“Mereka istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Selama dalam koridor yang pantas dan diperbolehkan. Misalnya tidak melakukan senggama di dubur atau saat haid.
Hanya saja, Syaikh Salman juga memberikan sejumlah nasihat, yakni hendaknya tetap menjaga etika dan norma. Apalagi, daerah sensitif itu rawan dengan najis. Wallahualam
Editor : Rizal Fadillah