BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Pro kontra penggunaan kata "Maneh" yang disampaikan guru di Cirebon kepada Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil membetot perhatian banyak pihak. Tak terkecuali Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda.
Sebab pertanyaan sekaligus kritik guru bernama Muhammad Sabil (34) ini berujung pemecatan dari tempatnya mengajar. Bahkan Ridwan Kamil (RK) juga sempat membalasnya dengan kata serupa kepada Sabil.
"Saya menyesalkan tindakan pemecatan terhadap guru yang memberikan kritik terhadap RK," kata Syaiful Huda dalam unggahannya di Instagram seperti dilihat Minggu (19/3/2023).
Menurut Huda, sikap kritis guru Sabil seharusnya bisa disikapi dengan bijak oleh RK. Bahkan mantan Wali Kota Bandung ini tidak perlu bereaksi secara berlebihan.
"Guru yang bersangkutan sudah mengabdi lama juga dalam proses mengajarnya," ujar Ketua DPW PKB Jabar ini.
Huda lantas menguraikan awal mula bahasa Sunda yang dipakai masyarakat. Menurutnya, pada masa keemasan Kerajaan Sunda di abad ke-16, bahasa Sunda masih sangat egaliter.
Hal itu nampak dari naskah-naskah yang ditulis pada zaman itu seperti Sanghyang Siksakandang ing Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580).
"Bahkan Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda, memakai kata 'Aing' ketika bicara dengan ibunya," bebernya.
Namun, lanjut Huda, semua berubah ketika pendiri Mataram, Danang Sutawijaya menguasai Ciamis dan Dayeuhluhur pada 1595. Sesudahnya, penguasa Sumedang, Aria Suriadiwangsa mengakui kekuasaan (overlordship) Penguasa Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1620.
"Akibatnya, bahasa Jawa Mataraman menjadi bahasa penghubung antara Penguasa Mataram dan Menak Sunda yang ikut mengadopsi budaya feodal ala Mataram termasuk cara berkomunikasi dengan kaum cacah kuricah (rakyat jelata)" tuturnya.
Bahasa Sunda Priangan pun, imbuhnya, menjadi berkasta-kasta seperti bahasa lemes pisan (halus sekali), lemes (halus), sedeng (sedang), kasar (kasar), dan kasar pisan (kasar sekali). Bahasa yang halus digunakan kepada penguasa dan kerabat yang lebih tua.
"Sistem yang dikenal sebagai Undak-Usuk Bahasa Sunda (UUBS) ini kemudian diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda yang mengajarkan lewat sekolah rakyat cara berbahasa Sunda 'secara benar'," ucapnya.
Di sisi lain, masih ada penutur bahasa Sunda di Cirebon yang masih menggunakan bahasa Sunda lama, lalu penutur bahasa Sunda di Bogor, Karawang dan Banten masih bebas dari pengaruh Mataram dan tidak mengikuti kaidah UUBS.
"Daerah-daerah ini dikenal sebagai penutur "bahasa wewengkon" (bahasa wilayah) Sunda," tandasnya.
Editor : Zhafran Pramoedya