Tegas! Muhammadiyah Tak Izinkan Kampusnya Digunakan untuk Kampanye Politik

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan terkait larangan kampanye politik di tempat ibadah dan fasilitas pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Gugatan ini dengan nomor perkara 65/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni.
Handrey Mantiri, sebagai Pemohon I, adalah seorang warga negara yang juga merupakan pemilih. Sementara itu, Ong Yenni, Pemohon II, adalah seorang warga negara yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari PDIP.
Kedua pemohon ini mengajukan gugatan terkait larangan kampanye politik di tempat ibadah dan fasilitas pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Gugatan tersebut mengarah kepada Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang menyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Namun dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa membawa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak yang bertanggung jawab atas fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Ketua MK, Anwar Usman, menyatakan pada Selasa (15/8/2023) saat memimpin sidang putusan di Gedung MA, Jakarta Pusat, bahwa keputusan MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, dengan alasan yang sesuai dengan hukum.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta