JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Guru Besar di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI), Prof Rini Sekartini memastikan, tidak ada kaitannya sama sekali air minum dalam kemasan (AMDK) galon isi ulang dengan penyebab penderita autis pada anak-anak.
Menurutnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang mengungkap penyebab pasti terjadinya autis.
“Penyebab autis itu masih multifaktor seperti faktor genetik dan lingkungan. Ada juga karena infeksi masa lampau, dan itu bisa terjadi. Tapi, yang pasti air galon isi ulang tidak menjadi penyebab autis. Itu sudah pasti salah,” ucap Rini dalam keterangan resminya, Selasa (3/10/2023).
Menurutnya, AMDK galon isi ulang itu justru sangat baik untuk kesehatan karena mengandung mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia.
“Air galon kan ada mineralnya, justru baik untuk kesehatan. Kalau dikatakan bisa menyebabkan autis, seharusnya sudah banyak anak-anak di Indonesia yang menderita autis karena yang minum air galon kan banyak. Tapi, nyatanya, yang autis bisa dihitung jari,” ungkapnya.
Rini mengatakan, dulu ada penelitian yang mendukung pengaruh zat tembaga logam terhadap penyebab autis ini. Tapi, lanjutnya, tidak konklusif juga bahwa penyebab autis itu karena logam ini.
“Akhirnya, penelitian ke arah situ juga makin jarang dilakukan,” ujarnya.
Oleh karena itu, pencarian penyebab autis itu pun tidak lagi menjadi perhatian saat ini.
“Biasanya pada anak autis, kita nggak mencari pasti penyebabnya. Pemeriksaan darah, CT Scan, biasanya tidak kita lakukan. Kita langsung masuk ke intervensi untuk penanganannya,” katanya.
Untuk penanganan anak-anak autis itu dilakukan tergantung gejalanya. Menurut Rini, karena autis itu merupakan gangguan perilaku, jadi penanganannya juga harus dengan memperbaiki perilakunya.
"Terapinya dilakukan dengan berbagai cara, ada terapi sensor integrasi, ada okupasi, ada terapi wicara, dan terapi perilaku. Jadi, ada multifaktor untuk terapinya,” paparnya.
Lebih lanjut, Rini menjelaskan, bahwa yang bisa terjadi pada anak autis itu adalah suka mengalami alergi makanan. Misalnya alergi susu sapi dan alergi makanan laut.
“Tapi, itu juga tidak semua anak alergi itu jadi dikatakan menderita autis,” imbuhnya.
Rini mengatakan, autis itu bisa dibagi menjadi autis ringan, sedang, dan berat. Untuk mendeteksinya biasanya ditentukan menggunakan perangkat skrining berupa kuesioner yang namanya M-CHAT-R.
Anak dengan gejala ada kontak matanya sebentar itu biasanya masuk autis ringan. Jika gejalanya tidak ada kontak mata tapi anaknya tidak cuek, itu masuk autis sedang.
“Tapi, yang sama sekali cuek dan nggak ada kontak mata biasanya kita masukkan kategori autis berat,” terangnya.
Ditemui di tempat yang sama, Angel, ibu yang memiliki anak autis bernama Yujin mengungkapkan, awalnya putranya ini terlihat masih biasa-biasa saja, di mana milestone-nya sesuai dengan perkembangan buku panduan dokter.
Tapi, saat berusia 1,5 tahun anaknya memiliki keanehan, di mana saat bermain mobil-mobilan sering rodanya dibalikkan jadi ke atas dan suka memutar-mutar rodanya. Fungsi mainan itu tidak dijalankan dengan semestinya.
“Tapi, saya berpikir saat itu bahwa itu hal yang wajar saja,” ucap Angel.
Lalu, saat berusia 1,8 bulan, Angel menitipkan anaknya ke penitipan anak dengan tujuan supaya bisa bersosialisasi. Tapi, oleh pihak penitipan anak, dia disarankan untuk membawa anaknya ke klinik tumbuh kembang anak.
Pada usia 1 tahun 10 bulan, dia pun membawa anaknya ke sana. Setelah konsultasi dengan psikolog, dikatakan bahwa anaknya butuhnya terapi Sensory Integration (SI) dan bukan terapi wicara. Karena, terapi wicara itu dikatakan akan mengikuti.
Kemudian setelah mengikuti terapi SI, menurut Angel, anaknya yang saat itu sudah berusia 3 tahun sudah mulai bicara cuap-cuap tapi tidak bermakna. Baru kemudian, dia disarankan agar anaknya melakukan terapi wicara.
“Kemudian setelah menjalani berbagai proses, saya kemudian disarankan membawa anak saya ke psikiater. Barulah anak saya itu terdeteksi menderita autis. Saat itu putra saya sudah berusia 4 tahun,” paparnya.
Terakait penyebabnya, Angel mengatakan bahwa waktu itu dokter menyampaikan sesuatu yang general saja. Di antaranya bisa faktor genetik, tingkat stress ibu pada saat mengandung, atau virus tertentu yang ada pada ibu pada saat hamil.
“Namun, terlepas dari semuanya itu, dokternya bertanya sampai kapan saya fokus kepada penyebabnya. Lebih baik fokus bagaimana penanganannya atau intervensinya seperti apa. Karena kalau menemukan masalah bahkan sampai dengan detik ini pun tidak ada 100 persen penelitian yang membuktikan penyebab terjadinya autis itu,” kata Angel menyampaikan apa yang disampaikan dokter kepadanya.
“Jadi, saya disarankan fokus pada penanganannya saja dan bukan kepada penyebabnya. Dan sampai sekarang, anak saya masih terapi SI, terapi wicara, behavior, dan perilaku sesuai dengan pertumbuhan usia anak saya. Di mana, dia harus tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak,” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah