Maksud dari pernyataan ini sangatlah dalam. Ipar biasanya memiliki hubungan yang dekat dan kerap kali dianggap sebagai bagian dari keluarga. Namun, kedekatan ini tidak boleh disalahartikan sehingga mengabaikan batasan-batasan syariat.
Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Niki Alma Febriana Fauzi pada Senin (24/06), dalam konteks ini, Rasulullah SAW menekankan bahwa saudara ipar, paman/bibi, atau sepupu sekalipun, tidak boleh memasuki rumah perempuan/laki-laki tanpa kehadiran mahram. Walaupun hubungan kekerabatan harus tetap dijaga, keamanan dari fitnah dan godaan juga tetap harus menjadi prioritas utama.
Niki Alma mengutarakan bahwa penggunaan kata “maut” (al-mawt) dalam hadis tersebut menggambarkan betapa seriusnya dampak yang mungkin terjadi. Mengutip pandangan ʿAbd al-Karim al-Khudlayr dalam Syarḥ ʿUmdat al-Aḥkām, Rasulullah mengibaratkan ipar dengan maut karena maut mengakibatkan hilangnya kehidupan, sedangkan masuknya ipar ke rumah tanpa mahram bisa mengakibatkan hilangnya agama seseorang, yang lebih parah daripada maut itu sendiri.
Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa “ipar itu adalah maut” atau “al-ḥamwu al-mawt ” karena potensi fitnah yang dapat mengarah pada perbuatan dosa besar, seperti perzinahan. Jika seorang ipar masuk ke rumah seorang perempuan/laki-laki yang sudah menikah tanpa kehadiran mahram, setan bisa menjadi pihak ketiga di antara mereka. Ini bisa menyebabkan perbuatan dosa yang sangat serius dan akhirnya berujung pada hukuman berat, seperti rajam, yang diibaratkan seperti maut.
“Oleh karena itu, menjaga diri dari situasi yang dapat mengarah kepada dosa adalah bentuk pencegahan yang sangat penting,” ucap Dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan ini.
Editor : Rizal Fadillah