JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Kasus sengketa asuransi antara PT RBM dengan PT Great Eastern General Insurance Indonesia (PT GEGII) berlanjut. Fatiatulo Lazira, kuasa Hukum PT Rajawali Bara Makmur (PT RBM) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI bertindak, menjatuhkan sanksi kepada PT GEGII yang dinilai telah melanggar aturan dan hukum Indonesia.
Fatiatulo Lazira mengatakan, mengecam pernyataan PT GEGII yang menuduh klien PT RBM menyembunyikan fakta material dalam proses penutupan asuransi. Tuduhan itu tidak berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
“Kami menilai, PT GEGII memutarbalikkan fakta. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dalam perkara No. 209/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst, terbukti bahwa PT GEGII tidak menerapkan tata kelola perusahaan yang baik saat penutupan asuransi," kata Fatiatulo Lazira, Jumat (1/11/2024).
"Atas pertimbangan itu, pengadilan menyatakan PT GEGII terbukti melakukan perbuatan wanprestasi (ingkar janji) dan menghukumnya untuk membayar klaim asuransi klien kami,” ujarnya.
Menurut Fatiatulo, penolakan klaim asuransi PT GEGII karena terjadi perbedaan penafsiran fakta meterial tentang penghitungan rasio kerugian (loss ratio) dan loss record (pengalaman klaim).
Loss ratio dapat dihitung dari klaim asuransi yang dibayarkan (incurred claim) ditambah biaya penyesuaian (adjustment expenses) dibagi dengan total premi yang diperoleh (total premium earned).
PT GEGII beralasan, PT RBM yang diwakili oleh PT Sukses Utama Sejahtera (PT. SUS) tidak mengungkap informasi/fakta material terkait peristiwa kecelakaan kandasnya Kapal BG Charles 209 mengangkut muatan batu bara milik PT RBM yang terjadi pada 24-25 Desember 2022 sehingga mengakibatkan muatan batu bara milik PT RBM tumpah ke lautan.
Faktanya, tutur Fatiatulo, PT RBM belum mendapat konfirmasi pembayaran klaim atas kecelakaan pada 24-25 Desember 2022, sehingga penghitungan rasio kerugian (loss ratio) pada saat penutupan asuransi adalah nol.
Berdasarkan Pasal 32 POJK 22/2023, kata dia, PUJK wajib memberikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jelas, akurat, jujur, mudah diakses, dan tidak berpotensi menyesatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian, baik pada saat melakukan kegiatan pemasaran dan sebelum menandatangani perjanjian.
PT RBM selaku tertanggung yang diwakili oleh PT SUS selaku broker, telah mengungkapkan fakta material secara jujur kepada PT GEGII selaku penanggung, termasuk di antaranya rasio kerugian (loss ratio) PT RBM selama 5 tahun terakhir dan diperbaharui menjadi 3 (tiga) tahun adalah nol, serta bahwa PT RBM juga memiliki asuransi dengan perusahaan asuransi lain saat itu.
“Saat penutupan asuransi, klien kami sudah mengungkapkan informasi benar sesuai formulir placing slip. PT GEGII tidak pernah melakukan identifikasi dan verifikasi informasi tersebut (customer due diligence), baik dalam bentuk wawancara maupun survei, sehingga klien kami merasa bahwa informasi yang disampaikan sudah cukup. Giliran klien kami mengajukan klaim, baru sekarang dicari-cari kesalahan untuk menolak klaim,” ucap Fatiatulo.
Dia menyatakan, menurut hukum, saat penutupan asuransi, perusahaan asuransi wajib menerapkan identifikasi dan verifikasi atas dokumen pendukung (customer due diligence) terhadap konsumen, sebagai wujud penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC) serta dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen.
Secara teknis, merujuk pada POJK 22/2023, contoh menelaah kesesuaian dokumen yang memuat informasi calon konsumen dan/atau konsumen dengan fakta yang sebenarnya, antara lain, mencocokkan kesesuaian tempat tinggal konsumen dengan data pada identitas konsumen, melakukan survei yang memadai, dan wawancara terhadap konsumen untuk meneliti dan meyakini kebenaran informasi yang terdapat dalam dokumen yang disampaikan oleh konsumen.
“Kalau perusahaan asuransi sudah menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan hukum asuransi dan hukum di sektor jasa keuangan, perbedaan penafsiran terkait loss ratio maupun loss record, seharusnya tidak terjadi," ujarnya.
Fatiatulo menuturkan, berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 44/POJK.05/2020 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank, risiko asuransi adalah risiko kegagalan perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan asuransi syariah, dan perusahaan reasuransi syariah untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi risiko (underwriting), penetapan premi atau kontribusi, penggunaan reasuransi, dan/atau penanganan klaim
Fatiatulo mengingatkan PT GEGII bahwa UU Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian mengatur perusahaan asuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim dengan alasan yang masih berkaitan dengan penutupan asuransi.
“OJK sebagai lembaga representasi negara yang dibentuk agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, harus melakukan tindakan hukum terhadap PT. GEGII, agar tidak menjadi preseden yang menimbulkan semakin banyak korban di sektor asuransi seperti yang sering terjadi,” tutur Fatiatulo.
Editor : Ude D Gunadi