get app
inews
Aa Text
Read Next : Big Ekuinok

Memilih Pemimpin, Belajar dari Pancaniti

Jum'at, 22 November 2024 | 21:51 WIB
header img
Saep Lukman, Mentor Kelas Menulis di Lokatmala Foundation. Ketua Biro Media dan Penggalangan Opini DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat. (FOTO: ISTIMEWA)

Seperti di banyak tempat di Jawa, politik di Cianjur tidak hanya bergerak di ranah formal, tetapi juga sarat dengan simbol dan nilai-nilai tradisi. Benedict Anderson, dalam bukunya "Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia," menyebut bahwa kekuasaan di Jawa dipahami sebagai pusat keseimbangan.

Pemimpin ideal adalah mereka yang mampu menjaga harmoni antara rakyat, alam, dan nilai-nilai spiritual. Di Pilkada Cianjur, simbolisme ini sepatutnya hadir dalam narasi-narasi kerakyatan yang diusung oleh para kandidat. Bukankah mereka terlalu sering berbicara tentang rakyat kecil, menyoroti pentingnya kesejahteraan, dan mempromosikan program yang terhubung dengan kebutuhan masyarakat?

Namun, simbol-simbol dan ucapan itu bisa jadi lebih bermakna jika diwujudkan dalam tindakan nyata. Sebab pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang mampu berbicara, tetapi juga yang mampu merealisasikan janji-janji yang dilontarkan dari mulutnya, termasuk dari mulut para tim suksesnya.

Harapan dan Realitas

Di tengah dinamika politik modern, narasi kerakyatan selalu menjadi senjata utama dalam Pilkada. Kandidat berlomba-lomba menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat kecil, menjanjikan perubahan, pembangunan, dan kehidupan yang lebih baik. Namun, apakah semua itu benar-benar memiliki substansi? Hannah Arendt, dalam bukunya "The Human Condition," mengingatkan bahwa kekuasaan sejati berasal dari kemampuan untuk mendengarkan dan menciptakan ruang dialog.

Editor : Ude D Gunadi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut