Dalam diskusi tersebut, Samsudin menekankan bahwa radikalisme memiliki dua sisi positif sebagai pemikiran kritis untuk inovasi dan negatif jika digunakan untuk merusak. Hal itu bisa dipandang dari berbagai sudut berbeda. Jadi, Radikalisme tergantung dari sudut pandang, bisa diperlukan bisa juga tidak.
"Radikalisme yang diperlukan dari sudut pandang filsafat adalah berpikir keras untuk menghasilkan sesuatu," kata Samsudin.
Mantan pelaku terror ustaz Kiki M Iqbal mengatakan, radikalisme sering kali menyasar kelompok berpendidikan dan terorganisir dengan doktrin agama yang salah. Dia juga menyoroti kelemahan sistem penjara dalam menangani napiter dan perlu pendekatan tafsir agama yang lebih inklusif.
"Paparan radikalisme rentan di golongan berpendidikan karena kelompok ini aktif berpikir kritis," kata ustaz Kiki.
Kiki menyatakan, radikalisme di NII dimulai dengan doktrin bahwa Pancasila adalah thougut. Doktrin ini selalu diperkuat dengan nukilan ayat suci Alquran. Kini menyebutkan meski dipenjara, para Napiter semakin matang dan masih bisa membuat saluran komunikasi dan jaringan keluar.
"Ada kelemahan dalam sistem penjara napiter. ISIS, JAT, dan JAD ternyata keliru, karena menimbulkan teror dan kekerasan. Selain itu, kesalahan fatal pemahaman radikal semakin sesat karena tidak membuka pemahaman dari tafsir ulama yang lain," ujar Kiki.
Radikalisme, tutur Kiki, adalah paham yang menginginkan perubahan drastis dengan kekerasan. Sementara terorisme adalah kegiatan menciptakan teror dengan kekerasan.
Editor : Ude D Gunadi