Reformasi Intelijen Indonesia, BIN Dituntut Lebih Profesional dan Antisipatif

JAKARTA, iNewsBandungRaya.id – Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie menggelar diskusi terbatas bertajuk "Dinamika Reformasi Tata Kelola Intelijen Indonesia".
Diskusi ini menghadirkan sejumlah akademisi, peneliti, dan praktisi untuk membahas tantangan dan prospek reformasi intelijen di Indonesia, terutama dalam penguatan Badan Intelijen Negara (BIN).
Diskusi yang dimoderatori oleh Yudha Kurniawan, dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie, menyoroti empat aspek penting dalam reformasi tata kelola intelijen, yaitu penguatan fungsi intelijen untuk deteksi dini ancaman, pengelolaan sistem rekrutmen dan staffing, transformasi kultur intelijen, serta penguatan mekanisme pengawasan.
Direktur Eksekutif LESPERSSI, Rizal Darma Putra menekankan pentingnya BIN menerapkan pendekatan berbasis ancaman (threat-based intelligence) agar dapat mencegah ancaman sebelum eskalasi.
"BIN harus mampu menerapkan metode ini agar tidak hanya bereaksi terhadap peristiwa yang sudah terjadi, tetapi juga dapat mencegah ancaman sebelum mencapai titik eskalasi," ucap Rizal.
Di tengah transisi kekuasaan, kemampuan BIN dalam memberikan analisis ancaman menjadi krusial. Permasalahan ekonomi yang muncul belakangan ini dianggap sebagai indikasi kinerja intelijen yang perlu ditingkatkan.
"Kejutan-kejutan tersebut harus dicegah agar pemerintah dapat lebih fokus dalam menjalankan agenda-agenda pembangunan ke depan," ungkapnya.
Menurutnya, hal tersebut juga terkait dengan metode kerja dan kultur intelijen yang ingin dibangun di Indonesia. Kerja intelijen lebih banyak dilakukan secara tertutup sehingga bina jaring menjadi hal yang krusial.
"Hal ini menjadi tantangan mengingat secara riil ada efisiensi anggaran yang berpotensi memotong kemampuan pengelolaan jaringan oleh anggota badan intelijen tersebut. Bukan rahasia jika anggaran BIN di periode sebelumnya sangat besar," jelasnya.
Di tempat yang sama, Peneliti Center for International Relations Studies, Awani Yamora Masta menyoroti pentingnya rekrutmen dan penempatan personel intelijen yang berbasis kompetensi.
"BIN perlu menerapkan standar yang lebih ketat dalam perekrutan, mengedepankan keahlian spesifik di bidang teknologi informasi, analisis data, diplomasi, dan kontraterorisme," ucap Awani.
Para narasumber sepakat bahwa politisasi dalam rekrutmen intelijen harus dihindari. Rekrutmen harus berbasis kompetensi dan keseimbangan struktural, bukan kedekatan politis.
Kultur penting lain dalam kerja intelijen adalah kerahasiaan. Intelijen merupakan profesi yang menuntut kerahasiaan dan keahlian dalam membangun jejaring informasi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena keterbukaan yang berlebihan dalam kultur intelijen Indonesia.
Salah satu kritik yang sering muncul adalah penggunaan seragam bagi agen intelijen dan perubahan nomenklatur lulusan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang semakin mencolok. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar kerja intelijen yang seharusnya tidak menonjol di ruang publik.
Sebagai perbandingan, di negara-negara dengan sistem intelijen yang lebih matang, agen intelijen umumnya tidak memiliki identitas yang mudah dikenali. Mereka bekerja dalam bayang-bayang, berbaur dengan masyarakat, dan membangun jejaring tanpa mengungkapkan afiliasi mereka secara langsung.
"Membangun kultur intelijen yang profesional berarti memastikan bahwa agen tetap bekerja dalam kerahasiaan, tanpa perlu eksposur berlebihan," tegas Rodon, salah satu narasumber.
Para peserta diskusi sepakat bahwa reformasi intelijen yang komprehensif diperlukan untuk memperkuat BIN sebagai institusi profesional yang mampu menghadapi berbagai ancaman dan tantangan di masa depan. Kehadiran tokoh berpengalaman yang memahami kultur intelijen di BIN menjadi prioritas penting.
Yang tidak kalah penting, adalah isu pengawasan. Muhamad Haripin dari BRIN menyampaikan bahwa sebagai lembaga yang memiliki kewenangan luas, BIN juga harus berada di bawah mekanisme pengawasan yang ketat agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
"Salah satu tantangan terbesar dalam sistem intelijen Indonesia adalah tumpang tindih kewenangan antar-lembaga, serta kurangnya transparansi dalam pertanggungjawaban anggaran dan operasional," katanya.
Para narasumber menekankan bahwa tanpa pengawasan yang jelas, lembaga intelijen dapat berpotensi melampaui batas kewenangannya dan mengancam prinsip demokrasi.
Diskusi ini menghasilkan berbagai rekomendasi penting bagi pemerintah dan pemangku kebijakan dalam memperkuat kelembagaan intelijen di Indonesia.
Reformasi kelembagaan, penyesuaian regulasi, serta peningkatan kapasitas SDM intelijen menjadi faktor utama yang harus segera ditindaklanjuti guna memastikan sistem intelijen yang lebih efektif dan adaptif terhadap tantangan global.
Sebagai bagian dari komitmen akademik dalam kajian strategis, Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie berencana untuk terus mengadakan diskusi serupa guna memperdalam wawasan dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang lebih komprehensif.
Editor : Rizal Fadillah