IAW Soroti Polemik Pagar Laut: Cerminan Buramnya Hukum!

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Polemik pagar laut di pesisir Tangerang dinilai bukan sekadar pelanggaran teknis reklamasi, melainkan menjadi cermin buram arah penegakan hukum di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyoroti, kasus tersebut merupakan indikator nyata apakah hukum Indonesia masih berpijak pada audit negara atau justru tunduk pada tarik-menarik kekuasaan.
Iskandar mengungkap, Kejaksaan Agung telah dua kali meminta penyidik Bareskrim Polri untuk menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara ini. Namun, Bareskrim tetap memakai pendekatan pidana umum yang hanya menyentuh dugaan pemalsuan dokumen.
“Publik patut bertanya apakah hukum masih berdiri di atas audit negara atau sudah jatuh dalam permainan kekuasaan?” kritik Iskandar dalam keterangannya, Rabu, (30/4/2025).
Dalam pandangannya, Kejaksaan memiliki kewenangan penuh untuk mengambil alih penyidikan jika petunjuknya diabaikan. Iskandar merujuk Pasal 110 ayat (3) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, yang secara jelas memberikan ruang bagi jaksa untuk mengarahkan atau mengambil alih penyidikan.
Lebih dari itu, ia menegaskan, posisi jaksa sebagai dominus litis—pengendali perkara—diperkuat oleh Pasal 7 ayat (2) UU Kejaksaan. Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 bahwa penyidikan korupsi tidak harus menunggu kerugian negara aktual, cukup dengan adanya potensi kerugian yang dibuktikan melalui audit resmi.
“Jika Polri menolak menerapkan Tipikor, Kejaksaan wajib mengambil langkah hukum sendiri,” tegasnya.
Iskandar juga menyinggung keberadaan tiga Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menegaskan adanya pelanggaran dalam proyek reklamasi tersebut.
Mulai dari pembangunan tanpa izin dan tanpa setoran PNBP, hilangnya akses publik terhadap laut akibat munculnya SHM dan SHGB di atas laut, hingga dampak lingkungan yang merugikan ekonomi nelayan.
“Semua unsur Tipikor terpenuhi, baik dari sisi kerugian keuangan negara maupun penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor,” jelasnya.
Namun yang terjadi, penyidikan justru dipersempit hanya pada aspek pemalsuan dokumen. Ia menilai hal tersebut mengaburkan substansi korupsi struktural yang merusak sistem.
Iskandar juga mengkritik ketimpangan pendekatan hukum Bareskrim. Ia membandingkan penanganan cepat terhadap kasus pabrik gula dengan stagnasi pada kasus KUR Tebu yang melibatkan potensi kerugian Rp1,2 triliun versi audit BPK 2023.
“Itu menunjukkan adanya selektivitas penyidikan. Ini bukan lagi soal teknis hukum, tapi sudah menyentuh keberpihakan,” ujarnya.
Menurutnya, Kejaksaan Agung seharusnya menempuh lima langkah strategis: mengambil alih penyidikan Tipikor, melibatkan BPK dan KPK dalam penghitungan kerugian negara, menggunakan audit forensik serta pelacakan aliran dana Rp48 miliar lewat PPATK, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bila perlu, dan mendorong Komisi III DPR RI menggunakan hak interpelasi.
“Jika Kejaksaan Agung tetap pasif, IAW mengingatkan, Pasal 21 UU Kejaksaan membuka ruang sanksi administratif hingga pidana bagi jaksa yang lalai menjalankan tugasnya,” tutur Iskandar.
IAW, lanjutnya, siap melangkah lebih jauh bersama publik. Mulai dari menggulirkan class action, kampanye terbuka, hingga membawa kasus ini ke United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) jika terus diabaikan.
"Diamnya Kejaksaan sama saja dengan membiarkan uang barang bukti Rp48 miliar yang disidik Bareskrim sebagai bukti permulaan Tipikor dan kehancuran ekosistem pesisir. Hukum harus berdiri di atas audit negara, bukan tunduk pada tekanan politik dan korporasi," tegas Iskandar. (*)
Editor : Abdul Basir