Bekasi Gempar, Bocah SD Diduga Lakukan Pelecehan Seksual

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Viral di media sosial, sebuah kasus mengejutkan mencuat dari pengakuan seorang ibu yang mengungkap dugaan pelecehan seksual terhadap putra balitanya yang baru berusia 4,5 tahun di Bekasi.
Insiden ini diduga terjadi saat sang anak tengah mengikuti salat berjamaah di masjid. Lebih mengejutkan, pelaku yang dilaporkan adalah anak laki-laki berusia 8 tahun, masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar.
Melalui akun @ndputriw, sang ibu membagikan kronologi dan dampak psikologis yang menimpa buah hatinya.
Dalam unggahan emosionalnya, sang ibu menuturkan perubahan drastis dalam perilaku anaknya setelah kejadian tersebut. Anak yang sebelumnya antusias pergi ke masjid kini enggan melaksanakan salat bahkan menghindari rumah neneknya, tempat biasa ia bermain dan menginap.
“Sudah sebulan anakku enggak mau salat. Dengar azan pun enggak semangat lagi. Dulu selalu semangat ke masjid, sekarang salat Jumat seminggu sekali saja enggak mau,” tulisnya.
Rasa curiga semakin kuat saat ia mencoba membujuk anaknya. Jawaban polos sang anak justru membuat dunia sang ibu seakan runtuh.
“Aku enggak suka salat karena kalau salat si Y main masukin (penis) ke (pantat).”
Respons Orang Tua dan Pengakuan Terduga Pelaku
Kaget dan terpukul, sang ayah langsung menghubungi orang tua terduga pelaku untuk mengonfirmasi kejadian. Sang ibu, yang menyadari situasi ini sangat sensitif, meminta seorang kerabat laki-laki mendampingi saat pertemuan.
Dalam pertemuan awal yang difasilitasi ketua RT dan RW setempat, terduga pelaku disebut mengakui telah melakukan tindakan tersebut sebanyak tiga kali kepada anak korban. Sang ibu juga mengungkap bahwa putranya bukan satu-satunya korban, diduga terdapat tiga anak lain yang mengalami hal serupa.
“Rasanya menunggu hari musyawarah seperti menunggu seumur hidup. Setiap hari menangis, meratap. Kenapa ini harus terjadi ke anak saya?”
Upaya Mencari Keadilan dan Tantangan Hukum
Sayangnya, harapan untuk penyelesaian kasus melalui pertemuan musyawarah pupus. Alih-alih membahas solusi, pertemuan tersebut justru berisi edukasi umum mengenai perlindungan anak, yang dirasa tidak menjawab keresahan korban.
Kecewa, sang ibu bersama salah satu korban lainnya mendatangi Polres Metro Bekasi Kota untuk melaporkan kasus tersebut.
Namun, laporan mereka ditolak karena pelaku masih di bawah usia 12 tahun, sehingga tidak bisa diproses pidana sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Mereka kemudian diarahkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Bekasi. Namun, layanan yang diberikan dinas terbatas pada konseling trauma bagi korban, sementara pelaku, karena juga anak di bawah umur, mendapat perlakuan serupa.
“Anak saya harus ikut konseling karena trauma, tapi pelaku juga cuma dikasih konseling. Puas? Tentu tidak. Apalagi saat di sekolah, pelaku bilang dia lakukan itu karena ‘enak’.”
Desakan Perubahan UU Perlindungan Anak
Pada Senin (2/6/2025), dengan bantuan sejumlah rekan, sang ibu akhirnya berhasil membuat Laporan Polisi (LP) resmi. Meski demikian, pihak perlindungan anak kembali menegaskan bahwa proses hukum akan terhambat oleh usia pelaku.
Salah satu petugas bahkan sempat menyampaikan komentar yang membuat hati sang ibu kian hancur: “Ibu ini mah masih ringan.”
“Saya sudah berusaha maksimal untuk memperjuangkan keadilan untuk anak saya. Tapi sekarang anak saya malah trauma dibawa-bawa ke kantor polisi, ditanya-tanya soal kejadian yang menyakitkan. Sekarang emosinya mudah tersulut, tidak seperti anak saya dulu.”
Kondisi psikologis sang anak kini semakin terganggu. Di tengah kebingungan, sang ibu menyampaikan pertanyaan penting bagi para pembuat kebijakan.
“Jika hukum tidak bisa menyentuh pelaku karena usianya, apakah DPR bisa mempertimbangkan revisi Undang-Undang Perlindungan Anak agar korban mendapat perlindungan yang layak dan pelaku tidak lepas dari tanggung jawab moral?” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah