Badan Geologi Ungkap Risiko Longsor Besar di Tol Cisumdawu, Ini Peta Ancaman Terbarunya

Badan Geologi juga merekomendasikan evaluasi rutin terhadap kestabilan lereng, termasuk dengan memperhitungkan dampak infiltrasi air dan potensi gempa. “Jika upaya mitigasi struktural sudah dilakukan dan kondisi pergerakan tanah masih berlanjut atau berkembang, perlu dilakukan pemindahan permukiman di bagian atas lereng serta pengalihan jalur transportasi kendaraan,” tegas Wafid.
Fenomena pergerakan tanah di titik ini bukan hal baru. Berdasarkan catatan Badan Geologi, aktivitas tanah mulai teridentifikasi sejak awal 2017, jauh sebelum proyek Jalan Tol Cisumdawu dibangun. Saat itu, retakan muncul di area kebun, jalan arteri, dan sejumlah rumah warga.
Namun, pergerakan tanah berkembang signifikan pada 2021 setelah pemotongan lereng untuk pembangunan tol. Kondisi semakin memburuk pada akhir Mei 2025, usai diguyur hujan deras dalam durasi yang lama. Gerakan tanah membentuk amblasan intensif, memunculkan kekhawatiran akan terjadinya longsor besar.
Jenis pergerakan tanah yang terjadi dikategorikan sebagai rayapan (creep) dengan cakupan area seluas 7,36 hektare, panjang 340 meter, dan lebar maksimal 275 meter. Retakan di lapangan terlihat seperti tapal kuda, dengan penurunan di bagian mahkota mencapai 1,35 hingga 1,65 meter. Retakan ini memiliki lebar antara 5–30 cm, panjang 5–140 meter, dan kedalaman mencapai 2 meter. Meski lambat, gerakan ini berpotensi berkembang menjadi longsor dalam dengan bidang gelincir melengkung (rotational landslide).
Data dari drone LIDAR dan pemetaan elevasi digital mengungkap bahwa longsor telah merusak sekitar 193 meter ruas tol di kedua arah, baik ke Bandung maupun Sumedang. Lereng tengah mengalami amblasan parah, menyebabkan beberapa tiang fondasi dan Dinding Penahan Tanah (DPT) mengalami kerusakan.
Editor : Rizal Fadillah