get app
inews
Aa Text
Read Next : IAW Soroti Polemik Pagar Laut: Cerminan Buramnya Hukum!

Kasus Ibu Menyusui Dipenjara di Karawang Ungkap Wajah Maskulin Sistem Hukum Indonesia

Selasa, 04 November 2025 | 09:32 WIB
header img
Ilustrasi ibu ditahan. (Foto: Ist)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Kasus penahanan Nenny, seorang ibu yang sempat viral karena harus menyusui bayinya sebelum menjalani sidang di Pengadilan Negeri Karawang, terus menuai sorotan publik. Di tengah polemik soal prosedur hukum, muncul kritik tajam dari kalangan pemerhati perempuan yang menilai sistem peradilan belum berpihak pada kebutuhan khusus perempuan, terutama ibu menyusui.

Sebelumnya, pengamat kejaksaan Fajar Trio menegaskan bahwa tindakan jaksa sudah sesuai dengan prosedur hukum. “Jaksa itu pelaksana keputusan pengadilan. Kalau hakim memutuskan untuk menahan terdakwa, jaksa wajib melaksanakan. Menolak berarti justru melanggar hukum,” ujarnya di Jakarta.

Fajar menjelaskan, dalam sistem hukum Indonesia, jaksa hanya menjalankan fungsi eksekutorial berdasarkan penetapan hakim sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1). Ia juga mengingatkan publik agar tidak menghakimi aparat penegak hukum yang bekerja sesuai prosedur.

“Jaksa tidak bisa menafsirkan sendiri penetapan hakim. Jika setiap aparat hukum menolak perintah pengadilan atas alasan subjektif, maka sistem hukum kita akan kacau,” katanya.

Namun, pandangan berbeda datang dari pengamat perempuan Sri Mulyati dari SAPA Institute, yang menilai kasus ini justru menyingkap persoalan struktural yang lebih dalam: sistem hukum dan pemasyarakatan yang masih abai terhadap perspektif gender dan perlindungan anak.

“Saya melihatnya pertama dari perspektif gender dalam konteks pemberdayaan ekonomi. Kasus yang dialami ibu Nenny itu bukan hanya satu kasus aja, di mana istri kemudian mengambil alih posisi suami terkait dengan akses pada pinjaman,” ujar Sri saat dihubungi, Selasa (4/11/2025).

Menurutnya, banyak perempuan terjebak dalam posisi rentan secara ekonomi dan hukum karena relasi kuasa dalam rumah tangga yang timpang.

“Karena posisi perempuan itu kemudian pada posisi tidak setara, jadi ketika misalnya ada konsekuensi dari sisi aspek dia dibebani wajib membayarkan kredit, tanpa dia tahu konsekuensinya hukumnya ketika dia tidak bisa membayar cicilannya. Itu banyak terjadi, karena dalam relasi istri itu lemah, ketika ada persoalan dia tidak bisa menuntut suaminya,” jelasnya.

Sri menilai kondisi ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan ekonomi dalam rumah tangga, ketika perempuan menanggung beban tanggung jawab finansial tanpa dukungan pasangan.

“Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, ini bisa masuk ke dalam kekerasan ekonomi, berupa penelantaran ekonomi dan kemudian tidak bertanggung jawab, itu kan muncul dari suaminya untuk melakukan pengkreditan kendaraan,” lanjutnya.

Lebih jauh, Sri menyoroti bahwa sistem hukum dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia belum responsif gender. Menurutnya, belum ada mekanisme atau fasilitas yang mempertimbangkan kebutuhan perempuan, seperti ruang menyusui, kebijakan pemisahan sementara bagi ibu dan anak, atau ruang laktasi di lapas.

“Bagaimana kemudian aturan di lapas ketika yang dihukumnya misalnya ibu menyusui, apakah kemudian ada waktu-waktu tertentu atau misalnya ada ruangan khusus ibu menyusui, atau misalnya ada ruangan khusus agar si ibu bisa memeras ASI-nya?” tanyanya retoris.

Ia menambahkan, “Kebijakan itu kan di lapas belum ada... sudah seharusnya lapas itu punya kebijakan responsif gender, inklusif terhadap warga lapas yang punya kebutuhan atau karakteristik yang khas.”

Sri juga menyinggung aspek hak anak yang terabaikan dalam kasus ini. Ia menilai bahwa penahanan terhadap ibu menyusui tanpa mekanisme perlindungan khusus sama saja dengan pelanggaran terhadap hak anak atas ASI eksklusif.

“Dalam undang-undang perlindungan anak itu bahwa anak itu punya hak untuk mendapatkan ASI eksklusif... ketika sistem hukum kita tidak mengakomodasi hal itu sama saja kita melakukan pelanggaran terhadap hak anak,” tegasnya.

Lebih jauh, Sri mempertanyakan bagaimana sistem hukum memperhitungkan dampak psikologis dan sosial dari pemisahan antara ibu dan anak akibat penahanan.

“Bagaimana kemudian mekanisme pengasuhan, pemantauan kesehatan fisiknya, dan psikologis mereka ketika terpisah dengan anak, ini menjadi tanggung jawab siapa?” ujarnya kritis.

“Hakim juga seharusnya mempertimbangkan aspek perlindungan anaknya akan seperti apa pasca hukum itu ditetapkan.”

Di sisi lain, pihak Kejaksaan Negeri Karawang tetap menegaskan komitmen mereka menegakkan hukum secara profesional dan humanis. “Bahwa Kejaksaan sudah berkomitmen menegakkan hukum secara profesional dan humanis,” kata Kasi Intel Kejari Karawang Sigit Muharam beberapa waktu lalu.

Namun, bagi para pemerhati perempuan, pernyataan tersebut belum cukup menjawab persoalan mendasar. Kasus Nenny dianggap menjadi cermin bahwa hukum di Indonesia masih netral secara teks, tapi buta terhadap realitas sosial perempuan.

Seperti diingatkan Sri Mulyati, persoalan ini bukan hanya tentang prosedur hukum, tetapi tentang bagaimana hukum menegaskan keberpihakannya terhadap keadilan yang berperspektif gender dan perlindungan anak.

Editor : Agung Bakti Sarasa

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut