Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan di Lahan Perkebunan Banyak Dijadikan Kamulfase
BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA.ID – Manajer Perkebunan Bagjanegara Tasikmlaya milik Holding BUMN PTPN VIII, Wawan Purnawarman, memberi pandangan terkait reforma agraria yang belakangan ramai dibicarakan. Menurut Wawan, Reforma Agraria jangan diterjemaahkan secara bebas begitu saja, tanpa dilakukan langkah-langkah penegakan hukum.
Hal itu diungkapkan Wawan Purnawarman, menanggapi berkembangkangnya isu reforma agraria yang masuk ke ranah perhutanan. Sebagaimana diketahui, Kementerian Kehutanan sebelumnya menerbitkan surat keputusan tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Hal ini memicu kontroversi karena hutan dikelola masyarakat tanpa aturan, pengawasan, dan penegakan hukum yang jelas dan tegas.
Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), Senin (10/11/2025) lalu melakukan audensi dengan Komisi IV DPR RI dan meminta agar Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang KHDPK itu dievaluasi dan dicabut. FPHJ menilai surat tersebut berdampak kepada konflik sosial di sekitar masyarakat desa hutan.
Pada kenyataan di lapangan, Wawan Purnawarman menjelaskan, reforma agraria dijadikan alasan dan kamuflase untuk mengusai lahan hutan dan perkebunan. Ujung-ujungnya, kata Wawan, lahan tersebut diperjualbelikan oleh oknum yang memanfaatkan isu reforma agraria tersebut.
Ia mencontohkan, selama bertahun-tahun pihaknya telah bermitra dengan 100 kelompok tani yang menggarap lahan di lahan Perkebunan Bagjanegara, milik Holding BUMN PTPN VIII. Setelah bertahun-tahun menggarap lahan tersebut, tiba-tiba datang sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan tertentu dan mengusir petani tersebut. Alasannya adalah reforma agraria.
“Reforma Agraria memang amanat undang-undang no 50 Tahun 1960. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak bisa serta merta dilakukan begitu saja tanpa langkah-langkah prosedural. Yang utama harus dibarengi penegakan hukum. Karena kalau tidak, banyak yang menerjemaahkan reforma agraria ini dengan cara yang sempit,” kata Wawan.
Akibat hal ini, kata Wawan, ekses yang ditimbulkan dari persoalan ini adalah munculnya konflik sosial secara horisontal di masyarakat. “Seperti yang ada di kami, di kabupaten tasikmalaya. Kami sudah bermitra dengan 100 kelompok tani. Mereka bermitra dengan bertahun-tahun, tiba-tiba diusir oleh Ormas tertentu. Masyarakat Tani pasti tidak tinggal diam. Mereka melawan,” kata Wawan di Bandung, Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, petani melawa karena mata pencahariannya terganggu. Para petani, katanya, tentunya tak mau mata pencahariannya diambil sekonyong-konyong. Padahal mereka sudah menggantungkan hidupnya di lahan pertanian tersebut.
Wawan berharap, pemangku kepentingan baik regulator maupun APH (Alat Penegakan Hukum) bersikap tegas dalam menyikapi hal ini. Terlebih dalam situasi hari pahlawan, katanya, semua pihak diharapkan menyadari bahwa pahlawan mempersatukan bangsa ini dari berbagai hal yang berpotensi perpecahan. “Tetapi dengan kondisi di kehutanan dan perkebunan yang mengatasnamakan reforma agraria malah berpotensi menumbulkan perpecahan di masyarakat, bahkan mengancam disintegrasi,” katanya.
Wawan menilai, pemerintah atau regiulator dan penegak hukum harus tegas dalam membuat kebijakan. “Harus ada penegakan hukum dalam menertiblam oknum-oknum yang memanfaatkan isu-isu reforma agraria. Ditambahkan sekarang ada lagi isu ketahanan pangan. Mereka menebang pohon, merambah perkebunan, lalu kemudian menanaman jagung dengan alasan ranaman ketahanan pangan. Padahal itu hanya kamuflase karena akhirnya lahan tersebut diperjualbelikan.***
Editor : Ude D Gunadi