get app
inews
Aa Text
Read Next : DPR RI Agendakan Pansus Konflik Reforma Agraria Tindak Lanjuti Hasil Audensi dengan FPHJ

SPBUN dan FPHJ Tolak Reforma Agraria KHDPK, Picu Deforestasi Serta Penjarahan Hutan

Selasa, 30 September 2025 | 08:31 WIB
header img
Ketua Umum SPBUN PTPN I Regional 2, Adi Sukmawadi dan petani pemetik teh di Kebun Cisaruni Garut, menolak segala bentuk penjarahan hutan karena mengancam keberlangsungan ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan. Foto/Istimewa

BANDUNG,iNews BandungRaya.id - Hutan negara termasuk lahan yang dikelola PTPN I Regional 2 merupakan aset negara yang dilindungi secara hukum.

Oleh karena itu ekologisnya harus dijaga sebagai penopang kehidupan. Serta dilindungi dari alih fungsi lahan yang semena-mena karena dikhawatirkan menyebabkan deforestasi dan memicu penjarahan.

Ketua Umum Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN) PTPN I Regional 2, Adi Sukmawadi mengatakan seluruh lahan yang dikelola PTPN I Regional 2 merupakan aset negara yang dilindungi hukum.

Dia menolak keras segala bentuk okupansi, intimidasi, maupun penjarahan di area perkebunan karena dianggap merugikan negara.

Sekaligus mengancam keberlangsungan ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan.

Menurutnya, setiap persoalan yang timbul seharusnya diselesaikan melalui mekanisme dialog dan jalur hukum yang sah, bukan dengan tindakan sepihak yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.

“Kami berkomitmen memperkuat kemitraan dengan petani dan masyarakat sekitar kebun demi kedaulatan pangan nasional. Itu amanah yang tidak bisa ditawar,” ujarnya di Bandung, Senin (29/9/2025).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), Eka Santosa mengingatkan, hutan bagi masyarakat adat bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan ruang hidup yang memiliki nilai spiritual dan ekologis.

Dirinya mengutip pepatah Sunda, “Leuweung rusak, cai beak, rakyat balangsak,” yang berarti rusaknya hutan akan berujung pada hilangnya air dan penderitaan rakyat.

“Menjaga hutan bukan hanya soal ekologi, tetapi juga menjaga kemanusiaan dan bentuk ibadah kepada Sang Pencipta,” tegas Eka.

Dikatakannya, konstitusi jelas menugaskan negara untuk melindungi eksistensi hutan demi kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Bahkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan hutan bukan objek redistribusi dalam Reforma Agraria.

Eka menyoroti wacana yang berkembang untuk menjadikan kawasan hutan sebagai objek Reforma Agraria melalui skema Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) maupun Perhutanan Sosial.

Menurutnya, jika kebijakan tersebut diterapkan tanpa kajian ekologis yang matang, risiko banjir, longsor, hingga kekeringan akan semakin besar.

“Negara tidak boleh abai. Fungsi ekologis hutan harus dijaga sebagai penopang kehidupan rakyat,” tegasnya.

Pihaknya akan terus bersuara melawan kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan.

Atas dasar permasalahan tersebut, serta demi menjaga kelestarian lingkungan yang sehat, adil, dan berkelanjutan, FPHJ bersama komunitas pendiri dan pendukungnya menyampaikan maklumat.

Yakni berisi enam poin utama, antara lain mempertahankan status hutan negara sebagai penopang kehidupan, menolak menjadikannya sebagai objek Reforma Agraria, hingga mendesak agar setiap alih fungsi hutan diganti dua kali lipat luasannya.

FPHJ juga menuntut penetapan direksi BUMN Kehutanan yang profesional serta pengembalian ketentuan minimal 30 persen luas hutan dari total daratan sebagai syarat ekologis utama.

“Jika prinsip-prinsip ini tidak dijaga, maka rakyat yang akan menanggung akibat paling besar dari kerusakan lingkungan,” ucapnya.

Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Thio Setiowekti menambahkan, pertemuan perwakilan Agustiana cs (Serikat Petani Pasundan) dan Dewi Kartika cs (Konsorsium Pembaruan Agraria) saat Hari Tani di DPR/MPR dan Istana, Rabu (25/9/2025), terlalu gegabah dan menjadi preseden buruk.

Pernyataan-pernyataan mereka implikasinya di masyarakat akan menimbulkan konflik sosial dan horisontal. Sosok yang diterima oleh DPR dan para Menteri itu adalah penjarah hutan dan kebun negara.

Sehingga adanya pertemuan menerima perwakilan pendemo di Hari Tani dikhawatirkan akan menyebabkan Deforestasi meluas dan memicu penjarahan yang lebih masif di kawasan yang berfungsi lindung di hutan dan kebun negara.

"Seperti yang kita alami kelompok SPP dan reforma agraria itu modusnya menjarah dulu lalu mengajukan sertifikat, malah SPP sudah berani membuat sertifikat sendiri. FPHJ akan menghadang proses reformasi agraria di kawasan berfungsi lindung di hutan dan kebun negara di Pulau Jawa," tuturnya. (*)

Editor : Rizki Maulana

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut