JAKARTA, INEWSBANDUNGRAYA - Direktur Parameter Politik, Adi Prayitno menyatakan, bahwa dalam survei yang biasa dilakukan, tidak banyak masyarakat yang memilih Capres-Cawapres berdasarkan pengalaman dan kinerja, namun siapa yang dekat dengan pemuka agama atau kontra dengan pemerintahan Jokowi.
“Untuk memilih Capres-Cawapres berdasarkan rekam jejak, kompetensi, track record dan seterusnya, itu tingkat persentasenya kecil, nggak sampai 10 %, dan itu diklaim sebagai pemilih rasional,” kata Adi dalam acara Parwa yang bertema Manuver Parpol Mengusung Capres, Jumat (14/10/2022).
“Yang dilihat bukan lagi apa yang sudah dikerjakan oleh mereka bahkan kalau kita melihat rekan jejak dan dialog-dialog public terkait orang-orang yang akan maju ini pasti yang dibicarakan bukan apa yang dilakukan, tapi siapa yang dekat dengan ulama atau tidak, bagian dari koalisi pemerintah atau tidak,” tambahnya.
Adi menilai, faksionalisasi itu sudah jelas dan kalau melihat Anies itu adalah sosok orang yang dianggap sebagai antitesa dari Jokowi, yang mana antitesa itu adalah bertolak punggung yang berhadap-hadapan dengan Jokowi.
Menurutnya, orang-orang yang kritis atau anti Jokowi, pasti ke Anies, apapun partai pengusungnya.
“Kalau melihat Prabowo, Ganjar, Puan Maharani, Airlangga, Erick Tohir dan lainnya, wajahnya adalah representasi pemerintah hari ini. Tutup mata soal track record apa yang mereka lakukan. Mazhab ini mengeras ketimbang basis-basis argumentasi rational choice,” tegasnya.
Sementara itu, Peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman menyampaikan, bahwa di survei biasanya ada dua aspek yang diuji, pertama aspek personal dan kedua aspek kebijakan.
“Kebijakan ini kalau kita bagi ke tipologinya lebih untuk membaca tipikal rasional, kalau aspek personal lebih ke sentimen jujur atau tidak, merakyat, rajin sholat atau tidak. Tapi ada aspek kebijakan, yakni kinerja. Sejauh mana aspek rasionalitas itu digaungkan apakah dia bisa tumbuh subur menjadi eskalasi ataupun terkubur oleh politik identitas,” tuturnya.
Dia menambahkan, bahwa kalau kita berkutat pada sentimen maka yang menjadi hajatan publik yang semestinya berbicara orientasi kepentingan publik langsung tidak akan tercapai karena pemilih rasionalitas itu bukan karena melihat dia pintar, punya retorika bagus dan punya diksi-diksi yang menawan.
“Bukan itu kajian rasionalitas dalam kajian behavior pemilih. Rasional itu ada tukar kepentingan,” pungkasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait