BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Kasus perjanjian alih muat batubara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk (IMC) dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) memasuki babak penuntutan yang berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2024 di Pengadilan Negeri Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan dan Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu menyatakan bahwa ketiga terdakwa yakni T, II dan HT telah bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 404 Ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana yang isinya berbunyi, yakni barang siapa menarik barang milik sendiri atau orang lain yang masih ada ikatan hak gadai, hak pungut hasil, atau hak pakai atas barang tersebut.
Jaksa lantas menuntut ketiga terdakwa yang terdiri dari dua mantan direksi dan seorang mantan manajer IMC tersebut dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun.
Tak hanya itu, JPU juga menuntut agar Kapal FC Ben Glory yang telah disita oleh pengadilan turut dirampas oleh negara dan diberikan sebagai ganti rugi kepada korbannya, PT SLE.
Adapun hal yang meringankan disebutkan adalah bahwa ketiga terdakwa belum pernah dihukum.
Aspidum Kejati Kalimantan Selatan, Ramdhanu Dwiyantoro mengatakan, JPU menuntut ketiga tersangka bersalah dan merampas barang bukti untuk menutupi kerugian korban melalui pelelangan milik lembaga independen negara.
“Semua dinyatakan bersalah dan tentunya semua itu ada dasar hukumnya. Alasan menuntut bersalah dan hukuman tuntutan satu tahun itu semuanya sudah dibacakan dan banyak hal-hal yang sudah meringankan tuntutan itu,” kata Ramdhanu saat diwawancara media usai sidang.
Sementara itu, pengacara 2 terdakwa mantan direksi IMC, Sabri Noor Herman menjelaskan, dari fakta hukum dan fakta persidangan yang direkam pihaknya selama persidangan, tidak ada yang bisa membuktikan pasal 404 ayat 1 KUHP Pidana.
“Kita tanya di persidangan ketika saksi pelapor Tan Paulin (Direktur SLE) dan adiknya Denny Irianto (Dirut SLE-Red) menjadi saksi di persidangan, adakah perjanjian lain selain daripada perjanjian alih muat, keduanya menjawab tidak ada. Jadi sebenarnya tidak ada dasar menjadi surat dakwaan,’’ terang Sabri.
Demikian juga ketika menanggapi aspek perampasan aset sitaan FC Ben Glory, Sabri pun menyatakan keberatan. Karena itu barang sitaan milik PT IMC bukan milik terdakwa, dan bukan benda yang diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
Barang tersebut juga bukan benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya dan bukan benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana serta bukan benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
“FC Ben Glory hanyalah benda yang mempunyai hubungan tidak langsung dengan tuduhan tindak pidana yang dilakukan,” tegasnya.
Sampai proses perkara ini di persidangan, FC Ben Glory masih berstatus disita oleh Pengadilan. Walaupun IMC telah mengajukan permohonan pinjam pakai barang bukti, karena barang bukti tersebut bukan milik terdakwa melainkan milik IMC yang digunakan untuk usaha. Namun permohonan pinjam pakai barang bukti tidak dipenuhi.
Berhubung barang bukti FC Ben Glory disita oleh Pengadilan, maka pengadilan wajib menjaga dan mengawasi barang bukti secara benar menurut hukum.
“Sementara kami temukan di permohonan ganti rugi Tan Paulin sudah melampirkan penilaian atas aset sitaan itu oleh Akuntan Publik, itu siapa yang mengizinkan melakukan penilaian itu?” tanya Sabri.
Sabri merujuk pada Pasal 39 ayat (1), Pasal 44, Pasal 46 KUHAP yang menjelaskan, Pengelolaan benda sitaan harus dilaksanakan secara transparan, dan akuntabel dengan tujuan untuk penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Sebagai informasi, kontrak bisnis alih muat batubara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) berlangsung di Kalimantan Timur.
SLE di antaranya dinahkodai oleh Tan Paulin, sosok yang ditulis di media massa beberapa waktu sebagai Ratu Batubara di Kalimantan Timur, dan pada Juli 2024 kemarin rumahnya di Surabaya digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan gratifikasi dan TPPU mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.
Namun, pelaksanaan kontrak bisnis tersebut malah menjadi dakwaan pidana yang menjerat dua mantan Direksi dan juga seorang mantan manajer IMC dengan pasal 404 ayat 1 KUHP.
Dakwaan pidana ini juga terkesan dipaksakan mengingat kontrak bisnis merupakan kontrak bisnis alih muat sedangkan dakwaan pasal 404 KUHP umumnya timbul dalam pelaksanaan perjanjian kredit dalam kaitannya dengan jaminan berupa tanah.
Dugaan kasus kriminalisasi ini sendiri timbul ketika IMC mengalokasikan Floating Crane keluar dari Kalimantan Timur mengingat tidak adanya pesanan dari SLE.
Prosedur pengalihan kapal itu sendiri telah sesuai dengan perjanjian dalam kontrak, yakni jika SLE tidak ada permintaan alih muat sesuai dengan tata cara seperti termuat dalam kontrak, maka IMC selaku penyedia jasa sekaligus pemilik kapal dapat mengalihkan kapal tersebut.
Singkat cerita, SLE kemudian melaporkan pihak IMC ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dengan tuduhan menarik barang yang masih ada ikatan sewa, yang membawa kasus ini ke ranah pidana. Hingga kemudian berujung pada penetapan tersangka dari pihak IMC pada Oktober 2023 dan disidangkan di PN Batulicin.
“Padahal, dalam perjanjian juga tertulis, bahwa jika terjadi perselisihan, maka akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia,” kata Sabri.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait